Thirst, Ketika Ucapan Lebih Ampuh dari Nyanyian

Spoken word merupakan sebuah jenis pertunjukan puisi di mana seseorang menuangkan pemikirannya terhadap suatu hal dan kemudian diucapkan atau diaudiosasikan. Kalau dibayangkan kurang lebih kayak pidato gitu, tapi dengan menggunakan diksi, rima, dan kalimat yang menarik. Nggak terlalu kaku. Mungkin kalau dibayangkan berada di antara batas antara pidato dan puisi.
Namun, ada juga beberapa band yang memasukan style tersebut kepada musiknya. Ketertarikan saya terhadap spoken word dimulai ketika mendengarkan part terakhir di lagu Alone At Last* yang berjudul ‘Muak Tuk Memuja’. Walaupun saya baru mengetahui istilah spoken word itu beberapa tahun kemudian sejak pertama kali mendengar lagunya, sejak saat itu saya kemudian mencari band yang membawakan style vokal serupa pada musiknya. Dari pencarian tersebut, akhirnya saya menemukan band-band seperti Hotel Books, La Dispute, Listener, Old Gray, dan band lainnya yang hampir semuanya berasal dari scene emotive.
Jujur saja, saya cukup kesulitan menemukan band lokal yang menyisipkan spoken word pada lagunya. Sampai akhirnya saya menemukan Thirst, sebuah band emotive/post-rock asal Bandung yang pada keseluruhan lagunya mengisi vokalnya dengan style spoken word.
Saya cukup kaget ketika mengetahui bahwa band ini telah terbentuk sejak tahun 2017 silam, namun tidak terdeteksi oleh radar saya. Antara saya yang kurang gaul, atau memang band ini kurang muncul ke permukaan. Anyway, hingga saat ini kuintet tersebut baru mengeluarkan 2 buah single yang sudah bisa dinikmati melalui berbagai platform streaming, yaitu ‘Lost’ dan ‘Fear’.

Pada kedua single-nya, Thrist menggabungkan musik mengawang ala post-rock dengan teriakan ala band-band emotive serta racauan spoken word. Hal tersebut membuat kedua lagunya lebih terdengar sebagai orasi yang diiringi musik dibandingkan dengan lagu. Sebuah formula yang sebelumnya telah sukses dibawakan oleh Senja Dalam Prosa, namun dengan pendekatan yang berbeda.
Jika Senja Dalam Prosa lebih memberikan porsi teriakan yang lebih banyak dengan pembawaan post-rock yang lebih agresif dan upbeat, maka Thirst lebih memilih untuk menurunkan tensinya sedikit dengan membawakan post-rock yang lebih sendu nan syahdu dan diisi oleh racauan spoken word yang cukup padat.
Untuk narasinya sendiri, melalui pesan yang disampaikan kepada Rich Music, Thirst menceritakan tentang perihnya perjalanan hidup dan ketakutan dalam menatap masa depan. Menarik juga, musik seperti ini rasanya memang cocok untuk membahas hal-hal yang sifatnya kontemplatif nan nggerus.
Saya harap, pada tahun ini Thrist akan menjadi lebih aktif dan merilis karya yang lebih banyak, dalam bentuk EP atau album. Dan kalau boleh memberi saran, walaupun formulanya bisa dikatakan berhasil, namun hal tersebut bisa dibilang belum terlalu istimewa, rasanya Thrist harus mencoba untuk memberi suatu sentuhan lain pada musiknya, karena tidak bisa dipungkiri, ketika disuguhkan musik serupa secara berulang-ulang, lama kelamaan akan jadi membosankan. Walaupun begitu, satu hal yang jelas, saya akan menantikan rilisan berikutnya dari Thrist.
Mau band kalian juga diulas seperti Thirst? Yuk, buruan kirimkan profile kalian pada laman submission dari Rich Music Online. Tinggal klik tautan ini yaa!
Instagram @thirst_music