The Bunbury: “Indie Pop Harus Underground atau Tidak, Itu Pilihan”

Teks: Ilham Fadhilah

Berbicara band muda di ranah lokal nampaknya seakan tak pernah ada habisnya. Jika kancah musik Indonesia diibaratkan sebuah mall, mungkin tempat parkir rubanahnya akan selalu penuh dan sesak terisi oleh band-band muda yang bermunculan setiap harinya. Tapi dari sekian banyak band belia yang bermuncullan, perhatian saya tertarik kepada satu band yang menurut saya keren (dalam artian nuansa musik dan citra yang ditampilkan sesuai dengan selera kesukaan saya). Mereka adalah The Bunbury.

Jarak pemisah antara saya yang kini bermukim di Bandung dengan mereka yang berdomisili di Yogyakarta mungkin menjadi pembatas saya tak dapat melakukan wawancara tatap muka langsung. Terlebih, penyebaran virus COVID-19 sedang hebat-hebatnya (lagi) di luaran sana, sehingga mengurung diri di rumah rasanya jauh lebih aman. Walhasil, saya pun memutuskan untuk menghubungi mereka melalui fitur direct message Instagram akun mereka untuk menjadwalkan sebuah sesi wawancara. Sebelum saya membahas lebih jauh tentang mereka, mari berkenalan dengan unit berpenghuni lima orang ini. Mereka adalah Mirza (vokal), Fikra (gitar), Dimas (gitar), Guyub (bas), dan Eja (drum).

Img 3457 1 Scaled
The Bunbury. Kiri Ke Kanan; Dimas (Gitar), Eja (Drum), Fikra (Gitar), Mirza (Vokal), Guyub (Bas)

Mereka membentuk The Bunbury di tahun 2019 dan bertempat di sebuah kampus kenamaan kota Yogya, yakni Universitas Gajah Mada (UGM). Singkat cerita, agenda nongkrong yang merupakan salah satu kegiatan ‘wajib’ mahasiswa menjadi pemantik mereka bertemu satu sama lain sehingga formasi The Bunbury menjadi seperti sekarang ini. “Kalau bicara momen, mungkin karena momen nongkrong di kampus dan kedekatan antar personil makanya bisa sampai ke formasi terakhir ini. Kalau soal satu frekuensi musik kayanya belakangan di sini”, ujar mereka.

Sejauh ini, mereka sudah menelurkan tiga single. Keduanya rilis di tahun lalu. “Evil Knievel” di bulan Juni, disusul “Track 4”  pada bulan berikutnya. Sejauh ini mereka masih mempublikasinya secara mandiri. Belum lama ini, mereka baru saja memperbaharui katalog musiknya pada Sabtu (2/6) lalu. Meluncurkan single bertajuk “Hide Me from the Sun”. Rencananya, mereka juga akan menelurkan EP bertajuk Alius Malicious dalam waktu dekat, meskipun tanggalnya belum dapat dipastikan.

Secara nuansa musik, “Hide Me from the Sun” terdengar dipadati oleh gitar berisik nan mengawang yang biasa menjadi ciri khas dari jenis musik shoegaze. Lebih menonjol ketimbang dua lagu sebelumnya. Diiringi dengan nada ala indie pop yang riang dan memacu semangat. 

Meski memainkan musik indie pop, untuk perihal pemilihan referensi musik mereka mengambil inspirasi dari beberapa genre di luar pijakan yang mereka mainkan. Semisal; shoegaze, post-punk, sampai jangle pop. Namun saya cukup kaget ketika mereka menyebutkan lima band yang menjadi roda bagi mereka untuk terus bermusik; Yuck, Joy Division, The Wild Swans, The Story So Far, dan untuk satu-satunya band lokal yang mereka sebutkan, saya kira akan dekat-dekat dengan shoegaze atau indie pop semisal Themilo atau Pure Saturday. Tapi, jawaban mereka berkata lain. “Slank,” jawab mereka. Absurd.

Tapi dibalik jawaban itu bercanda atau tidak, saya tentu sangat percaya kalau Slank menginspirasi banyak band untuk terus bermusik, terutama jika berbicara band lokal. Tanpa melihat jalur indie atau mayor, atau juga hal-hal lain semisal lintas genre. Slank adalah nama influensial yang mempengaruhi dunia musik tanah air. Ternyata The Bunbury juga tak luput dari gerombolan orang-orang tersebut. Meskipun alasannya mungkin hanya Tuhan dan The Bunbury-lah yang tahu.

Bahkan dari beberapa nama yang disebutkan, tak satu pun band pop di dalamnya, yang ada malah dengan tambahan imbuhan akhir –punk (The Story So Far). Namun bukan berarti mereka tak mengidolakan musisi pop. Mereka berlima nyatanya merupakan penyuka band pop asal New York bernama The Pain of Being Pure At heart (TPOBPATH). 

“TPOBPAH adalah benang merah yang menyatukan kami pada awal terbentuk secara tidak langsung dalam hal musikal.”

Nyatanya, mereka juga menjalin tali koneksi dengan sang punggawa, Kip Berman. Bahkan salah satu katalog mereka sempat dipublikasikan oleh akun official Twitter TPOBPATH. Memang, setiap band selalu mencari cara untuk dapat terkoneksi dengan idolanya. Tentu, mereka pun tak terkecuali. Mereka juga mengungkapkan kalau mereka masih membangun komunikasi dengan Berman sampai saat ini.

Screen Shot 2021 07 09 At 14.11.20

“Masih tapi nggak intens, cuma di saat momen dan waktu tertentu aja”.

Di skena pop arus pinggir, mungkin nama The Bunbury belum setenar rekan satu kotanya, Grrrl Gang. Namun di balik itu, bagi mereka Grrrl Gang adalah salah satu nama yang mendorong mereka untuk membentuk band dan juga memberi mereka panggung perdana.

“Mereka adalah band keren yang juga berpengaruh pada kami. Berkat mereka kami didorong untuk membentuk sebuah band dan diberi salah satu panggung perdana. Menurut kami karya dan semangat mereka perlu diacungkan jempol, terlebih lagi setelah mereka bisa mendapatkan panggung di SXSW”, ungkap mereka.

Namun ada suatu pandangan yang selalu menghinggapi band-band indie pop lokal yang konon katanya enggan tenar atau mungkin lebih keren jika menyebutnya dengan istilah “unpopular”. Belum lagi etos band-band penghuni Sarah Records di masa lalu yang sering dijadikan kiblat para pelaku indie pop dituduh-tuduh menjadi penyebabnya. Namun, mereka punya pandangan lain perihal problematika menjadi band pop “anti-mapan”  tersebut;

“Musik pada hakikatnya adalah bentuk katarsis dalam penyaluran emosi dan untuk dinikmati mau itu yg segmented maupun yang bukan. Kami percaya tiap musik memiliki ruang apresiasi sendiri. Untuk indie pop harus underground ataupun tidak itu adalah pilihan dari band atau musisi yang bersangkutan.”

Saya juga baru menyadari sesuatu, sejak awal rasanya belum sepatah kata pun tentang Sarah Records atau pun penghuninya yang terketik oleh jari mereka. Pada umumya, band-band indie pop (lokal terutama) mengidolakannya habis-habisan.

2020 06 30 01.53.00 1
The Bunbury

Namun mereka berpandangan justru tak jadi masalah untuk tidak memuja Sarah Records atau pun rilisannya. Toh, terutama bagi band pop ber-spirit dan attitude yang dicanangkan oleh Sarah Records menjadi referensi mereka juga secara tidak langsung. Mereka juga tentu termasuk salah satunya.

“..karena ide-ide dari Sarah Records bertransformasi dalam banyak bentuk yang tidak kita sadari juga.”

Sebagai band belia, nampaknya nama The Bunbury perlu masuk ke dalam radar pendengaran kamu. Single terakhirnya mungkin menggambarkan bagaimana EP-nya mendatang akan terdengar. Dengan begitu tentu mereka juga secara tidak langsung sudah memasukan namanya ke dalam daftar band muda potensial yang patut dinantikan.

Jika kamu belum pernah mendengarkan musik mereka, kalian dapat mengunjungi laman Bandcamp mereka dengan mengklik link di sini. Mari nantikan rilisan berikutnya dari nafas muda indie pop Jogja yang satu ini!

Related Articles

Back to top button