Stage Banter, Penyulut Keriuhan Dalam Helatan Musik

Beberapa dari kalian pasti merindukan untuk datang ke sebuah helatan konser musik, di mana sekarang sedang tertunda akibat kondisi yang masih belum memberikan titik cerah. Saya pun merupakan orang yang sama. Masih dalam kekesalan akibat pandemi, kali ini tingkat kejenuhan seakan mulai mencapai puncaknya. Semoga tahun berikutnya sudah dapat memberikan kita angin segar untuk dihirup kembali.
Coba sebutkan apa saja yang kalian rindukan dalam sebuah helatan konser? Menyaksikan band favorit kalian manggung? Terjun ke dalam mosh pit? Atau karena suasana hangat yang timbul dengan sendirinya? Yah, saya pun merasakannya. Meskipun konser virtual menjadi alternatif paling memungkinkan sejauh ini, namun ada beberapa hal yang menurut saya tak dapat didapatkan lewat hanya menyaksikan sebuah konser dibalik layar kaca.
Salah satu dari hal-hal tersebut adalah stage banter yang biasa dilakukan oleh para personel di atas panggung saat jeda dari lagu ke lagu. Memang, ketika hanya menyaksikan sebuah konser daring, mereka masih dapat menyampaikan serangkai kata-kata atau sekedar meracau guna melakukan interaksi dengan penonton. Namun, saya rasa tak sesederhana itu.
Ada beberapa hal yang tak dapat dilakukan jika hanya menyaksikan konser daring, terutama jika kalian seorang militan yang selalu gigih untuk menempati posisi terdepan. Terkadang, sebuah stage banter merupakan sesuatu hal yang sering menjadi sumbu yang menyulut gejolak penonton. Yah, tak selalu berakhir menyenangkan, ada juga yang berakhir dengan ricuh ataupun insiden pelemparan berbagai barang ke atas panggung.
Bagaimanapun akhirnya, bagi pihak band ataupun penonton yang hadir pada saat itu, hal tersebut tetap merupakan sebuah momen yang akan terus hidup dan terekam dalam memori mereka. Sedangkan untuk para media, tingkah polah antik tersebut pada akhirnya dapat dijadikan sebagai headline. Intinya, priceless moment lah. Nah, tak sedikit momen-momen tersebut lahir dari stage banter yang dilakukan oleh sebuah band.
Kamu masih ingat apa yang dilakukan oleh The Brandals pada helatan PL Fair tahun 2003 silam? Mungkin sejauh ini, tak ada dokumentasi yang dapat dijadikan sebuah tontonan layak yang merekam jelas bagaimana mereka melakukan stage banter yang pantas untuk dikatakan sebagai “refleksi dari nama band mereka sendiri” selain sebuah film dokumenter garapan Faesal Rizal yang perdana tayang pada 2012 lalu, “Marching Menuju Maut”. Buah hasil dari apa yang mereka lakukan pada helatan tersebut berujung pada pelemparan berbagai barang ke atas panggung. Namun, itu lah The Brandals. Resek!
Jimi Multhazam pun seringkali melakukan stage banter yang cukup menarik, melontarkan kata-kata mengejek yang justru memberikan efek riang bagi para penontonnya. Menghibur dengan caranya sendiri. Hal itu lah yang mungkin tak dapat dirasakan sepenuhnya ketika kita hanya terpaku pada layar untuk menyaksikan konser daring akibat kondisi yang memaksa semuanya mesti terhenti.
Selain kedua nama tersebut, ada lagi nama lain yang suka melakukan stage banter nyeleneh bin antik, yaitu Superglad. Sang vokalis, Lukman Laksmana atau biasa dikenal dengan ‘Buluk’, juga memiliki cara tersendiri dalam melakukan stage banter. Ia biasa menceritakan terlebih dahulu setiap repertoar yang akan dibawakannya. Menjadikan momentum tersendiri bagi mereka yang menyaksikan langsung Superglad di atas panggung. Menurut legenda, tak sekali dua kali juga Ia melakukan aksi telanjang bulat dalam pertunjukannya. Absurd!
Jika mencoba membentangkan layar ke tanah Amerika Serikat sana, kita tengok saja sosok Billy Joe Armstrong. Frontperson dari salah satu grup punk-rock idola sejuta umat, Green Day, tersebut sering kali melakukan aksi yang cukup unik. Pasalnya ia sempat beberapa kali melakukan aksi-aksi yang tak dapat lepas dari benak publik begitu saja. Seperti insiden di ‘I Heart Radio Festival 2012‘ di mana Amstrong menghancurkan gitarnya sebagai tanda protes kepada penyelenggara acara, atau ketika dia melepas tendangan ke dalam kerumunan penonton akibat kericuhan yang dibuat salah satu penontonnya.
Mud party atau pesta perang lumpur di Woodstuck pada tahun 1994 silam cukup menjadi bukti bahwa Armstrong mampu mengajak para hippies (yang banyak menghadiri acara tersebut saat itu) untuk melakukan aksi panggung yang tak biasa. Para penonton dan Armstrong saling melempar lumpur yang menjadikan suasana saat itu sangat kotor namun berlangsung menyenangkan.
Bagaimana dengan nama yang terkenal memiliki aksi panggung yang “kesetanan”? Sebut saja mendiang GG Allin? Rasanya sudah tak perlu dipertanyakan lagi. Aksinya memang kelewat gila. Bahkan keseluruhannya. Tak jarang pula penonton yang berada di paling depan untuk ditarik dijadikannya target berkelahi.
Dalam penataannya, seringkali momentum-momentum yang hadir dalam sebuah helatan musik lahir dari stage banter yang dilakukan oleh band. Tak dapat dipungkiri, sebuah aksi di atas panggung yang menuai atensi berlebih memang perlu dilakukan dengan tekad yang berani pula. Terserah apakah buahnya akan menjadi manis atau tidak, yang pasti nama-nama tersebut pasti tak akan lepas dari benak publik. Kamu sudah dapat melihat contohnya dari nama-nama yang disebutkan di atas, apakah mereka sudah menjadi benar-benar asing saat ini?