RICH NEWSRICH SUBMISSION

Sebagai Bibit Unggul, Midtown Carousel Harus Berani Keluar Dari Zona Nyaman

Tenang, kali ini saya nggak akan trash-talking Neck Deep-core lagi. Soalnya kebetulan band submission yang bakal dibahas kali ini nggak ngacu ke sound pop punk modern yang heavy dan kadang-kadang ada breakdown. Malahan mereka berani main ‘jadul’ karena ngambil referensi ke pop punk 2000an. Bukan New Found Glory atau Fall Out Boy, maksud saya pop punk 2000an di sini adalah sound pop punk ala band-band di Kung Fu Records atau Mutant Pop Records. Nggak kebayang juga? Yaudah name-drop deh. Kayak The Ataris zaman Kris Roe masih gendut atau Fenix TX deh. Nah tuh pasti gampang dibayangin. Mereka adalah Midtown Carousel, unit pop punk yang berdomisili di Bandung.

Agak enak nih nulis soal mereka, karena kebetulan saya pernah nonton sekali live mereka di sebuah microgig tahun 2018. Kalau nggak salah, itu panggung pertama mereka setelah dibentuk. Yoi fren, band-nya masih gress nih. Dan kalau boleh jujur, penampilan malam itu lumayan so-so buat saya. Maklum friend, panggung pertama. Cuma satu banding seribu kalau ada first show dari sebuah band berjalan lancar. Tapi effort mereka waktu itu patut diapresiasi banget.

Yang menarik dari Midtown Carousel buat saya pribadi adalah penulisan lagu mereka yang berani bermain sederhana. Sesuai dengan informasi yang mereka oper di press release-nya, mereka mainin punk rock three-chords dengan nuansa 2000an. Padahal nggak tiga kunci juga sih, kadang empat atau lima yang saya dengerin mah. Balik lagi ke songwriting,  band yang digawangi oleh Fakhri (bass dan vokal), Dika (gitar dan vokal), dan Helmi (drum) ini lumayan oke di aspek tersebut. Seperti saya sebutkan di paragraf awal, bayangin aja The Ataris era lagu-lagu kayak “Teenage Riot” atau “Make It Last”. Lurus dan intens sampe lagunya selesai. Lagu-lagu Midtown Carousel pun punya nuansa yang sama dengan Ataris era Kung Fu Records. Coba deh dengerin lagu-lagu kayak “Brown Hair Sweet Cheeks Bookworm Girl” atau “Happy Birthday”. Joe Escalante approves lah kasarnya.

Meskipun secara lagu memang terasa sederhana dan nyaman di kuping, mungkin Midtown Carousel harus berani bermain keluar dari zona nyaman pop punk yang mereka mainkan. Gini, udah bukan rahasia kalau lagu-lagu pop punk itu emang identik sama lirik lagu cinta yang menye-menye dan geuleuh kalau kata orang Sunda mah. Mungkin kalau Midtown Carousel coba ngulik narasi dan permainan diksi di lagu-lagu mereka lebih liar dan kreatif, mereka bakalan punya identitas yang lebih unik untuk di segmennya. Contohnya kayak The Rang Rangs atau Kebunku. Dua band itu menulis lirik dengan diksi yang urban (cenderung ke bahasa tongkrongan) dan berhasil membuat sebuah narasi lagu yang relatable. Hal-hal seperti ini yang sebenernya Midtown Carousel bisa kembangkan ke depannya. Karena narasi lagu tentang lawan jenis sejauh ini masih sama begitu-begitu saja. Senggaknya mereka udah punya satu keunggulan di aspek musik, mungkin bakalan lebih menendang pantat kalau aspek liriknya juga bisa dimainin.

Sebagai band belia, jalan musik masih panjang dan buat Midtown Carousel jelajahi. Mungkin setelah pandemi ini reda, mereka bisa mengasah kembali berbagai aspek di musik mereka dan mulai gencar manggung lagi. Get into them now.

Dengarkan lagu-lagu dari Midtown Carousel di sini.
Back to top button