RICH FEATURESRICH HIGHLIGHTSRICH NEWSRICH OPINION

‘Rimpang’ adalah Kemewahan yang Ditawarkan Formasi Baru Efek Rumah Kaca

Delapan tahun sudah album terakhir mereka, Sinestesia (2015) diluncurkan. Menyelami Efek Rumah Kaca dengan mengonsumsi ketiga albumnya, Efek Rumah Kaca (2007), Kamar Gelap (2008), dan Sinestesia (2015) semacam menghidupkan pengalaman spiritual tertentu; emosional dan harus dituntaskan. Tahun ini mereka mengeluarkan Rimpang, bukti kedewasaan unit yang tak lagi jadi trio minimalis ini. Eksplorasi mereka mencapai tahap matang sempurna, dengan tambahan bumbu personil baru, Rimpang terlampau kokoh tuk dirobohkan, dan tentu jadi salah satu album paling layak didengar di tahun ini.

Pencarian saya terhadap band ini sempat terhenti pasca perilisan Sinestesia, delapan tahun lalu. Selain dihiasi kesibukan mengais referensi dari berbagai unit musik lain, rasanya Sinestesia (2015) merupakan magnum opus yang lahir di tahun tersebut, sekaligus melahirkan kekhawatiran akan seperti apa album selanjutnya nanti? Akankah merusak keindahan fantasi yang tentang Efek Rumah Kaca yang dilahirkan lewat tiga album sebelumnya? Delapan tahun setelahnya Rimpang menjawab. Tak se-powerful album sebelumnya, namun masih memberikan kesan ‘merinding’ yang sama.

Entahlah bagaimana saya harus menjabarkannya, tapi album ini terdengar ‘dewasa’ dari segi musikal, artwork, dan hal-hal lain yang meliputinya. Rimpang tak semarah Efek Rumah Kaca atau Kamar Gelap, juga tak sekompleks Sinestesia, tapi justru gairah yang dihadirkannya adalah kedewasaan yang lebih tenang namun tetap substansial. Rimpang semacam puncak pubertas dari diskografi Efek Rumah Kaca–setidaknya sampai saat ini–dengan kemewahan yang disuguhkan lewat instrumen yang dimainkan plus synthesizer yang melengkapi kekayaan suara di album ini sukses menggabungkan dua album awal dengan tambahan bumbu kompleksitas bebunyian di album ketiga, hingga menghasilkan matang sempurna di album keempatnya ini.

Rimpang jadi album pertama bagi Poppie (bassis) dan Reza (gitaris), namun mereka langsung mengambil peran penting dalam proses kreatif pembuatan album ini. Kualitas penulisan lirik Efek Rumah Kaca tetap jadi alasan mengapa band ini akan selalu tersimpan di hati dan telinga saya. Rasanya tak pernah ada omong kosong dalam tiap detik lagu mereka, bahkan di album keempatnya ini mereka mengais inspirasi dari teori rhizome oleh Deleuze dan Guattari.

Rimpang merupakan monumen dari sekian harapan, tak peduli besar atau kecilnya, bagaimana munculnya, tak linier, tanpa hirarki, hadir dalam berbagai situasi dan menjalar secara diam-diam. Rimpang adalah amarah yang disampaikan dengan cara yang jauh lebih dewasa daripada “Mosi Tidak Percaya” atau “Pasar Bisa Diciptakan”.

Meski tanpa Adrian Yunan, tapi sidik jarinya abadi di tiap rilisan Efek Rumah Kaca, kehadiran Poppie dan Reza pun tak lantas membuat Cholil dan Akbar kehilangan karakter, justru kini mereka semakin kaya referensi. Tak hanya bebunyian instrumen, suara milik Suraa, pseudonim dari Cempaka Surakusumah yang kerap membantu ERK tampil di berbagai panggung pun turut serta mendamaikan bulu kuduk yang gusar, seperti dalam “Fun Kaya Fun”. Selain memainkan bass yang groovy, Poppie juga pandai meramu kata hingga menghiasi repertoar dalam Rimpang, seperti “Rimpang” dan “Tetaplah Terlelap”.

Dengan komposisi sepuluh repertoar dalam album ini membuat Rimpang begitu solid; tidak dibiarkan terlalu cepat juga terlalu lama, pas, matang sempurna. Total 45 menit 3 detik ERK merangkum kritik dan oto-kritik dari segala keresahan yang mereka rasakan. Sepuluh nomor yang digarap serta diproses sejak 2016 silam, melalui banyak fase bongkar-pasang rekaman dan aransemen, akhirnya Rimpang dapat diselesaikan di tahun 2023, atau setelah melewati tujuh tahun proses yang tentu tak bisa dikatakan mudah.

Saya begitu tertegun membaca “Sondang” dalam tumpukan repertoar album keempat ERK ini. Efek Rumah Kaca selalu bisa menghadirkan sentimen tertentu dari sebuah kasus untuk kembali merawat ingatan masyarakat pendengar seperti yang pernah mereka lakukan dulu lewat nomor “Di Udara”. Kini formula mencekam dihadirkan untuk mengenang kasus Sondang Hutagalung, aktivis yang membakar diri sebagai bentuk protes akan ketidakadilan di Indonesia. Suara-suara noise, drone, drum tak berpola, dan lirik repetitif sukses membawa nuansa kelam dalam lagunya.

Namun jika harus dipaksa memilih, mungkin ada banyak yang sepakat bahwa “Bersemi Sekebun” adalah nomor paling brilian dalam album ini. Menggaet Ucok Homicide a.k.a Morgue Vanguard untuk mengisi rapalan sajak penuh nasihat yang begitu khusyu dan eksplosif dalam tenang, ERK sukses menambahkan kesan spiritual dalam rilisannya. Tabik.

Penempatan peran Ucok Homicide a.k.a Morgue Vanguard untuk mengisi spoken words seperti itu memang sangat tepat dengan komposisi yang ada. Entah bagaimana jadinya jika MV dibuat meneriakkan sekian baris rima secara singkat dan meledak-ledak penuh amarah seperti yang biasa ia lakukan bersama Homicide. Sepuluh nomor dalam Rimpang jadi gerbang spiritual lain bagi saya, repertoar penuh renungan dibalut dengan komposisi musik yang elegan membuat Rimpang melahirkan corak kemewahan disela-sela formasi baru yang ERK miliki.

Seolah mereka tak perlu adaptasi, semua melebur jadi entitas baru yang solid, dan tentu lebih awal mencatatkan diri sebagai album terbaik yang lahir di tahun 2023 ini untuk diulas di penghujung tahun nanti.

Pada yang perlahan padam, ada sejenis api dari kemustahilan. Sejenis harapan yang datang dari pelan nyala sekam. Sejenis badai lahir dari rajutan bukan kepalan. Beberapa perang bukan untuk dimenangkan, beberapa kemenangan bukan untuk dirayakan dan dalam rentetan kekalahan bertahanlah sedikit lebih lama, tumbuhlah liar serupa gulma.

Terima kasih, Efek Rumah Kaca.

Back to top button