Puff Punch: Kala Pubertas Menjadi Bahan Bakar Bermusik

Banyak lagu-lagu fenomenal yang muncul ketika ditulis oleh sang musisi sedang menginjak fase pubertas. Ambil contoh lagu “Dammit” milik Blink-182 yang ditulis oleh Mark Hoppus ketika dia galau soal percintaannya. Atau mungkin lagu-lagu di tiga album pertama MxPx yang semuanya bernuansa teenage angst banget. Selain fenomenal karena ada unsur nostalgia di dalam lagunya, ada faktor korelasi perasaan bagi beberapa pendengar yang kebetulan sedang berada di fase yang sama dengan musisi yang menulis lagu tersebut. Let’s say ketika ada seorang remaja yang sedang kesal sama preman-preman di sekolahnya, selalu ada lagu-lagu pop punk bernuansa rebelling di sekolah.
Bodornya, ternyata ada satu band lokal yang hari ini lumayan mewakili perasaan saya yang sama-sama sedang berada di fase pubertas tingkat akhir. Mereka adalah Puff Punch, Unit indie rock asal Bekasi ini punya rilisan yang berisikan lagu-lagu yang ‘ngambek’ dan pertanyaan retoris ala konflik remaja di masa pubertas. Semua itu tertuang melalui EP yang mereka rilis pada September lalu, Can We Go Out Now?
Puff Punch yang beranggotakan Rifqi Ramadhan (Gitar), Nabyl Raharjo, Farisha Aqilah (Vokal), Miraj Al Dzahabi (Drum) dan Rima Cahya (Bass) membalut musik indie rock dengan sentuhan lirik yang lugas dan suara vokal yang manis. Mengingatkan saya kepada band-band Sarah Records dan juga Sub Pop secara bersamaan. Sebenernya perhatian saya sudah tercuri sejak mereka merilis single “Serotonin”. Lagu ini terasa nikmat ketika unsur ketukan rock dipadukan dengan konten lirik yang membahas akan esensi masa muda.
Baca juga : 50 Band Potensial asal Bandung yang Mencuri Perhatian

Ironisnya, ternyata saya ditipu besar-besaran oleh Puff Punch di EP mereka. Lagu “House Arrest” yang disimpan sebagai repertoar pertama pada EP mereka terasa stagnan ketika dibandingkan dengan “Serotonin”. Entahlah apa memang ekspektasi saya yang terlalu rendah atau sebetulnya mereka berhasil mengecoh saya di konsep EP ini. Lagi-lagi saya dipermainkan oleh mereka pada lagu “Everyday I Miss You”. Di lagu ini vokal Aqilah hanya diiringi oleh suara instrumen ukulele. Oke, memang manis dan enak didengarkan. Tapi plis atuhlah, kok kerasanya kayak kabur-kaburan gini ya konsepnya? Kayak anak remaja lagi puber deh rasanya, naik turun emosinya.
Ekspektasi saya akan Puff Punch mulai agak terbayar di lagu “You’re Annoying but I Love You“. Suasana lagu ala The Pastels terasa nikmat dan nyaman di kuping saya. Yaaa, seenggaknya nggak terlalu jomplang kayak dua trek pertama. Nah baru deh di trek terakhir saya menemukan apa yang saya tunggu-tunggu dari Puff Punch. Lagu “Homebody” ini sangat mewakili puberty rock yang saya nantikan dari mereka. Vokal yang liriknya sebenernya ngambek dibawakan dengan santai dan digaungi oleh distorsi mentok kanan. Keren. Yang saya suka dari lagu ini adalah celotehan sinis penutupnya, “ This situation sucks and I fucking hate it.” Kesel tapi nggak mau keliatan kesel. Kalau di bahasa Jepang, istilahnya tsundere. Sedap.
Mungkin apa yang mereka tawarkan dari segi musik bukanlah angin segar. Tapi cara mereka merajut emosi ke dalam musiknya dengan sederhana terasa sangat jujur dan organik. Tanpa tendensi atau agenda apa pun. Mereka hanya sekumpulan remaja yang sedang bingung akan kondisi dan situasi yang mereka alami. Pubertas banget ‘kan? Tapi justru itulah yang bikin musik Puff Punch keren.
Oh iya, kalau kamu denger desas-desus soal kenapa Puff Punch banyak terekspos atau dielu-elukan banyak orang, itu bukan karena vokalisnya adiknya salah satu Youtuber cewek terkenal dan kebetulan vokalis dari band papan atas, Reality Club. Saya rasa, musik yang mereka mainkan itu keren dan jujur. Karena itu yang paling penting dalam bermusik, berdamai dengan kondisi diri sendiri dan lebih bagus lagi kalau diluapkan ke dalam medio yang asyik kayak musik. Kudos to Puff Punch.
Kalo kalian penasaran langsung aja dengerin lagu-lagu mereka di sini, friend!
Oleh Reza Ilham