Post-Human, Band Metal yang Agresif dan Penuh Filosofi

Ketika mendengar kata band, maka yang terbersit pada pikiran kita adalah sekelompok orang yang memainkan instrumen seperti gitar, bass, dan drum secara bersamaan. Setidaknya itu format band standar yang kini sudah banyak digunakan. Tapi, ada juga nih beberapa band yang mencoba eksplorasi lebih jauh dengan menambahkan elemen lain seperti keyboard, synthesizer, terompet, atau alat perkusif. Bahkan ada yang kalau yang lebih ekstrim lagi, dengan menggunakan format standar, tapi jumlahnya yang nggak biasa, contohnya 3 gitar, 2 drum, atau bahkan 2 bass. Ngeri.

Ternyata, ada salah satu band yang melakukan submission ke redaksi Rich Music yang bermusik dengan format yang nggak biasa. Band yang dimaksud adalah Post-Human, sebuah kuintet progressive-metal/metalcore asal Bandung yang bermusik dengan format 1 vokal, 1 gitar, 1 drum, dan 2 bass. Iya, bukan gitarnya yang ada 2, tapi bass. Cukup unik kan, friend?

Melalui beberapa wawancara ataupun artikel yang sempat saya temukan mengenai kenapa Post-Human menggunakan format tersebut. Mereka menjelaskan bahwa hal tersebut dilakukan untuk membagi frekuensi antara bass yang memainkan frekuensi low, dengan bass yang memainkan frekuensi middle. Teknis banget ternyata.

Post Human Uniteasia
Via Uniteasia.org

Eits, bukan cuma itu, dengan mengambil influence dari band-band seperti Tool, Russian Circles, Bleed From Within, dan sebagainya, membuat musik yang dibawakan Post-Human juga terdengar teknikal, agresif, namun tetap melodius dan terasa sangat dinamis.

Hingga saat ini, Post-Human baru mengeluarkan sebuah EP berjudul ‘Nothing to be Done’ yang dirilis pada tahun 2019. Selain memukau secara musik, setelah saya cari tahu lebih jauh, narasi yang dibawakan pada EP tersebut juga cukup menarik, karena membahas sesuatu hal yang cukup filosofis, yaitu mengenai tahapan kedukaan (mendekati kematian) dari seorang psikiater bernama Elizabeth Kubler-Ross. Pada keenam track pada EP tersebut menggambarkan 5 tahapan kedukaan, yaitu denial, anger, bargaining, depression, dan acceptance. Nggak ngerti da saya mah, tapi saya yakin itu hal yang keren. Hehehe.

Selain itu, effort yang dikeluarkan pada ‘Nothing to be Done’ juga nggak main-main, untuk semakin memperkuat penyampaian narasinya, Post-Human membuat music video untuk setiap track yang terdapat pada EP tersebut. Totalitas banget pokoknya, friend!

Youtube Player

Permainan musik yang teknikal dan juga narasi dari lagu-lagunya menurut saya sebuah hal yang menjadi kekuatan dari Post-Human. Nyatanya, walaupun menggunakan format yang kurang lazim digunakan band kebanyakan, mereka dapat meramunya menjadi sesuatu yang menarik dan nggak flop. Karena seperti yang kita tahu, banyak juga band-band yang mencoba membawakan sebuah format yang nyeleneh, tapi ujung-ujungnya cuma dijadikan gimmick buat jualan, padahal secara musik mah… meh. Untungnya, Post-Human bukan salah satu di antaranya.

Untuk sebuah band muda, rasanya apa yang dilakukan oleh Post-Human bisa ditiru oleh band lainnya yang masih pada tahap merintis. Konsep yang kuat, pengemasan narasi yang menarik untuk disampaikan, menurut saya merupakan sebuah hal yang harus dimiliki oleh band-band yang ingin menggunakan pendekatan serupa.

Setelah merilis EP-nya tersebut belum ada lagi terlihat pergerakan yang akan dilakukan oleh Post-Human. Saya pribadi sih, berharap mereka segera merilis sesuatu yang baru, entah itu album, EP, atau single juga nggak apa-apa deh. Penasaran banget sama materi lanjutan pasca EP tersebut, saya yakinin sih, pasti keren banget.

Buat kamu yang karyanya mau diulas juga oleh tim Rich Music, jangan lupa kirimkan profile kamu melalui tautan ini yaa! Ditunggu lho~

Instagram: @psthmn_

Related Articles

Back to top button