Peringkat Album Deadsquad dari Terbaik hingga Terburuk
Berikut peringkat 4 album Deadsquad dimulai dari yang terbaik hingga terburuk.

Sumber foto: Instagram @deadsquad.official
Melihat perjalanan Deadsquad sejak 2006 hingga saat ini, merupakan salah satu anugerah yang dimiliki para penggemar metal di Tanah Air. Tentunya itu tak berlebihan, sebab sepak terjangnya selama ini mampu menghasilkan prestasi di dalam maupun luar negeri.
Tak hanya prestasi, band metal asal Jakarta ini juga kerap menghasilkan berbagai nama yang dituai dari perombakan tubuh band. Hengkangnya Coki, Bonny, Ghorust, Daniel, dan lain-lainnya tentu akan menciptakan karya yang berbeda di tiap fasenya.
Oleh karena itu, rasanya menarik jika kami berinisiatif untuk memberi peringkat kepada album-album yang mereka hasilkan sebagai bentuk apresiasi. Dengan catatan, daftar ini merupakan pandangan subjektif yang dihasilkan dari penulis. Alias, tulisan ini tidak bersifat absolut.
Tanpa panjang lebar lagi, berikut peringkat album Deadsquad dari yang terbaik hingga terburuk.
Profanatik (2014)

Album ini merupakan bentuk perkembangan dari Deadsquad setelah Horror Vision. Jelasnya, secara materi dan notasi tidak jauh berbeda dengan sejumlah faktor ciamik dari sebelumnya. Alias, mereka menunjukkan perkembangan yang berani namun tak menghilangkan karakter aslinya.
Gubahan orkestra di lagu “Ode Kekekalan Pusara” adalah salah satu contoh yang menarik perhatian. Kemudian, kembalinya mereka menyelundupkan instrumentasi jazz di lagu “Natural Born Nocturnal” yang di mainkan Yopie Item, juga terdengar lebih apik lantaran dibalut dengan sound yang lebih manis. Serta, tema-tema lagunya juga lebih terasa relevan. Sebab, dalam album ini Daniel memotret berbagai sifat dan kodrat manusia dari sisi positif dan negatif yang terkesan lebih nyata.
Singkatnya, album ini berhasil menonjolkan rasa lewat dramatisasi yang menarik dengan menuangkan komposisi musik yang lebih kompleks ketimbang Horror Vision. Hebatnya, semua itu diracik dengan porsi yang pas dan tetap menggelegar.
Horror Vision (2009)

Menyambung paragraf pertama di daftar teratas, karakter Deadsquad yang dimaksud adalah bagaimana mereka mampu menciptakan musik yang sangat teknikal, brutal, cepat, namun anehnya lagu-lagunya sangat mudah melekat. Itu semua bukanlah kombinasi yang normal. Buktinya, sudah banyak terlihat ketika Pasukan Mati bisa sing along ketika Deadsquad tampil di panggung. Dan itu merupakan karakter Deadsquad yang tak dimiliki banyak band metal lainnya.
Jika dibedah lebih lanjut, penyebabnya yang nomor satu adalah karena Stevi mampu menghasilkan berbagai riff gitar yang sangat catchy, meski hajar oleh riuhnya liukan gitar Coki, amukan drum Ghorust, tebalnya bas Boni, dan bisingnya vokal Daniel. Penyebab nomor dua, dipastikan karena Deadsquad mengaplikasikan struktur musik pop ke dalam lagu-lagunya. Alhasil, tak ayal lagu-lagu Deadsquad sangat mudah dihafal.
Selain itu, kehebatan album ini adalah pada tema-tema dan penulisan lirik Daniel yang liar. Kala itu, Daniel mengaku memang mengalami fase memercayai ideologi Agnostik. Maka dari itu, album ini dipenuhi dengan lirik-lirik ideologi agama yang ia protes. Sehingga, pemikiran Daniel itulah yang membuat berbagai tema di album ini jadi sangat menarik.
Tyranation (2016)

Saat album ini pertama kali dirilis, entah mengapa saya kurang terikat dengan sejumlah lagu di dalamnya. Penyebabnya pun saya tidak terlalu tahu. Padahal, album ini menghadirkan kolaborator ganas seperti Sudjiwo Tedjo, Andra Ramadhan, Dewa Budjana, dan Adam ‘Koil’. Namun, karena rasa penasaran saya akan penyebab yang dirasakan kala itu, akhirnya saya mencoba untuk mendengarkan album ini lagi.
Setelah mendengarkan, sekarang saya tahu mengapa tidak memiliki emosi dengan album ini. Jawabannya yaitu karena Daniel membicarakan hal-hal sosial politik yang tidak relevan dengan saya.
Di luar faktor itu, album ini sangat menggugah secara musikal. Eksplorasi yang mereka tanamkan sangat mengagumkan. Dimulai dari penuturan musik yang teatrikal sejak dimulainya album dan akhir album, menutup lagu dengan cara yang segar dengan fade out di lagu “Menyangkal Sangkakala”, dan keseluruhan sound yang berkembang sehingga terasa lebih gahar. Hasil tersebut tentunya tak luput dari tangan hebat Stephan Santoso selaku sound engineer di album ini.
Catharsis (2022)

Meski album ini memenangkan AMI Awards 2022 dalam kategori Album Metal Terbaik, namun saya sebagai penulis amatir memiliki pendapat yang berbeda. Intinya, album ini berhasil memerkosa identitas Deadsquad yang berada di karya-karya sebelumnya.
Izinkan saya memulainya dari perihal tema dan lirik. Hengkangnya Daniel dari tubuh band ini, mengakibatkan penurunan imunitas yang cukup merugikan. Setidaknya bagi saya pribadi. Berbagai tema dan lirik yang merupakan salah satu kekuatan kuat dari band ini sebelumnya, seketika punah. Saat ini, mereka terlihat seperti tak acuh akan hal itu, sehingga mengubah keseluruhan lagu menjadi bahasa Inggris. Sayangnya, lirik yang ditampilkan di Spotify juga hanya lagu “The Black Triangle” dan “Curse Of The Black Plague”.
Walaupun, kehadiran Vicky Mono dapat memberikan kekuatan baru dengan kemampuan variasi vokalnya. Saya akui, itu tidak dimiliki Daniel saat ini.
Berbicara di ranah musikal, beberapa kali saya mendengarkan album ini, rasa yang timbul hanya terasa sepintas saja. Alias mereka hanya bermasturbasi dengan skill-nya sendiri. Hal itu lantaran durasi lagu dan tempo yang sangat cepat, notasi yang membosankan, serta tak memiliki berbagai riff yang catchy seperti karya-karya sebelumnya. Selain itu, album ini juga menawarkan tone gitar yang terdengar kurang punchy. Sehingga, seluruh alasan tersebut menghasilkan album yang tak dapat dinikmati secara maksimal.