RICH FEATURESRICH INTERVIEW

Ngobrol ‘Baceprot’ bersama Voice Of Baceprot

Hari Senin tanggal 18 Oktober 2021 kemarin daerah kantor Rich Music sedang diguyur hujan. Suasanan di dalam ruangan lumayan diterpa hawa lembab sekaligus dingin berangin. Tapi suasana muram tersebut tiba-tiba terhangatkan oleh kehadiran unit rock belia kebanggaan Indonesia masa kini, Voice Of Baceprot (VOB). Sekitar jam 1 siang mereka sampai ke kantor Rich Music setelah melewati bosan dan panjangnya jalan tol Cipularang. Ya, mungkin kamu menganggap saya melebih-lebihkan bagian bosannya perjalanan Cipularang tersebut, tapi sepengalaman saya yang sering bolak-balik Jakarta-Bandung melalui jalur tersebut, rasanya lumayan membosankan untuk menatap jendela mobil dengan pemandangan yang statis dan minim kehidupan di luar sana. Kereta ftw, all the way.

Ah maaf malah curcol di paragraf sebelumnya. Singkat kata, kedatangan VOB ke kantor Rich Music sebetulnya dalam rangkain media visit yang mereka jalankan sebagai rangkaian kegiatan promosi untuk single terbaru mereka yang bertajuk, “God Allow Me (Please) to Play Music”. Single sophomore dari grup rock muda asal Garut tersebut lumayan memberikan impresi yang menarik bagi saya. Jujur, saya tidak terlalu tertarik secara musikalitas terhadap apa yang VOB mainkan. Namun narasi lirik yang mereka tuangkan di dua karya orisinal mereka lumayan membuat dahi saya mengernyit sekaligus mempertanyakan autentisitas perspektif mereka di ranah musik yang mereka mainkan. Bukan bermaksud overthinking, tapi banyak pertanyaan yang saya ingin haturkan kepada mereka mengingat kiprah mereka yang sangat kaliber hari ini.

VOB di kantor Rich Music (foto: Faiq Nur Fratama)

Singkat kata, akhirnya kami duduk di meja yang sama dan saya pun sekilas memerhatikan raut tiap personil. Entah mengapa ekspresi semi-tegang di wajah Marsya (gitar, vokal), Widi (bass), dan Siti (drum) sangat tersirat di pandangan saya. Bisa jadi mereka berasumsi bahwa wawancara ini akan terasa sangat serius dan spesifik. Akhirnya sebelum suasana terlanjut serius, saya pun memberitahukan mereka kalau saya tidak punya pertanyaan yang spesifik soal karir mereka. Mereka pun tertegun sedikit. Saya pun langsung melontarkan pertanyaan pertama saya ke mereka di transisi ekspresi tersebut. Saya bertanya dengan seenaknya tentang apakah persona personil VOB memang aslinya baceprot (baceprot dalam bahasa Sunda berarti berisik atau bawel) atau itu hanya sekedar nama saja. Mereka pun merespon pertanyaan tersebut dengan tertawa terbahak-bahak ala perempuan muda yang biasa mengobrol beramai-ramai di kantin sekolah. Siti merespon pertanyaan konyol saya itu dengan berujar, “iya da bener om. Kita mah aslinya emang baceprot”. Marsya pun menimpali celotehan Siti dengan berkata, “tapi biasanya emang suka rada jaim sih kalau kita ngobrol sama yang baru kenal mah. Nah baru udah 10 menit ngobrol, baru keluar asli baceprotnya!”.

Dari lontaran jawaban tersebut, saya rasa sepertinya pengalihan format wawancara menjadi “wawancara” ini berhasil. Karena sepertinya mereka akhirnya bisa merespon dengan lentur dan apa adanya. Good for them, karena masih banyak sisi VOB yang belum terkuak ke publik selain kalau mereka memang tiga perempuan muda dari Garut yang mendadak terkenal karena bermain musik metal plus diwaro oleh beberapa musisi rock internasional. Dan saya ingin tahu banyak hal soal itu. Saya pun bertanya ke mereka tentang lingkungan sekolah mereka sewaktu mereka membentuk VOB. Saya penasaran apakah di sekolah mereka tersebut ada anak metal lainnya yang biasa nongkrong atau masuk ke lingkaran pertemanan mereka. Widi memaparkan, “enggak ada sih om. Kayaknya cuma kita bertiga weh yang gini (suka musik metal)”. Marsya pun tiba-tiba angkat bicara seputar nostalgia ketika mereka bertiga ditegur oleh gurunya karena mendengarkan musik metal. Dia berkata, “kita bertiga teh pernah dimasukin ke ruang BK barengan dan dimarahin sama guru-guru karena mereka pikir kita teh ngasih pengaruh buruk buat anak-anak lain karena dengerin musik metal. Terus kita nangis sekitar dua jam di dalem ruangan. Ah enggak bisa dilupain itu mah”.

Suasana obrolan bersama VOB (Foto: Faiq Nur Fratama)

Karena mereka memaparkan kenangan soal sekolah tersebut, saya pun bertanya kepada VOB apakah sebetulnya lagu “School Revolution” sebetulnya curahan hati mereka yang nyata. Bukan sekedar narasi protes terhadap sistem pendidikan negera ini yang masih terasa banal di beberapa aspeknya. Marsya pun menjawab, “sebetulnya sih iya om. Kalau dari pengalaman kita yang waktu sekolah dianggap berbeda sama anak-anak lain mah emang tertuang di lirik lagu itu”. Siti pun menambahkan, “kita teh mungkin karena dengerin musik metal seringnya dianggap salah wae, om. Jangankan dulu waktu sekolah, sekarang aja kita teh masih sering dikomenin sama netizen soal musiklah, soal penampilanlah”. Marsya turut berkomentar, “padahal mah ya kalau kita emang suka dan mainin musik metal, ya kenapa gitu? Da ini mah yang kita suka,” paparnya.

Pengungkapan mereka perihal aspek prejudis yang kerap menghampiri personal dan VOB membuat saya semakin paham bahwa single terbaru mereka, “God, Allow Me (Please) To Play Music” bukanlah gimmick belaka, namun memang narasi jujur dari apa yang mereka benar-benar alami. Tapi saya pun gatal untuk menanyakan soal penulisan lirik lagu tersebut. Saya paham betul bahwa VOB tidaklah datang dari latar belakang yang super pretensius atau penuh referensi seputar musik metal. Bahkan di sela-sela obrolan pun mereka mengaku masih mendapatkan banyak asupan referensi musik dari mentor-mentor mereka. Tapi saya rasa, VOB seharusnya mampu menulis lirik lebih liar dan lugas dibandingkan dengan pemilihan diksi yang ‘polos’ seperti yang tertuang pada single teranyar mereka tersebut. Akhirnya saya bertanya kepada Marsya sebagai sang penulis lirik lagu tersebut tentang penulisan lirik di lagu tersebut. Dia menjawab, “ya itu mah liriknya sesuai dengan apa yang aku pikirin aja, om. Tapi emang kadang dikasih masukan sama manajemen bagusnya gimana.” Ah, akhirnya penjelasan dari Marsya cukup menjawab kebingungan saya selama ini. Saya akhirnya paham bagaimana mekanisme VOB berkarya dengan status mereka yang kini sudah saya masukan ke dalam kategori ‘band populer’.

Dari sekian banyak obrolan yang terlontarkan antara saya dan VOB, sebetulnya sisa kuantitasnya hanya dipenuhi oleh sela canda dan gelak tawa saja. Saya pun menyadari bahwa pada akhirnya mereka adalah manusia biasa yang kebetulan terenggut oleh status popularitas. Karena ada beberapa momen ‘mawas ucapan’ ketika mereka beropini di sela-sela obrolan kami. Seringkali ada selipan ucapan, “eh enggak apa-apa gitu ya ngomong gitu?”  ketika mereka tak sengaja beropini dengan luwes awalnya. Hal itu membuat saya berpikir, sebetulnya apa yang membuat publik sangat berekspektasi kepada VOB? Apa karena mereka berpenampilan ‘soleh’? Apa memang karena mereka terlanjut terkenal karena ‘diwaro’ oleh para rockstar dunia? Atau memang semua kemawasan diri tersebut mereka harus emban demi popularitas? Saya rasa VOB berhak untuk bertindak dan menyuarakan isi pikiran mereka lebih bebas karena itulah kaidah utama dari sekumpulan teman yang membentuk sebuah band. Akan disayangkan apabila energi dan spontanitas mereka tersaring terlalu banyak di paruh umur diri dan band mereka seperti sekarang. Ah, mungkin itu hanya pandangan saya saja. Toh sepertinya apa pun yang VOB lakukan sekarang, mereka masih punya banyak dukungan dari khalayak ramai.

Here’s my take, seharusnya dengan attitude dan persona ‘baceprot’ seperti itu, VOB bisa saja bermain punk rock dari pada metal. Just saying.

Back to top button