RICH FEATURESRICH OPINION

Musical Ages: Selera Musik Kita akan Terus Berkembang, Kecuali Kalau Kamu Mati Muda

Teks: Sarah Ashilah

Ketika kita menginjak usia remaja, di masa-masa inilah pertama kalinya kita mempersepsikan diri kita berdasarkan musik yang kita dengar. What kind of person am I based on my favorite music genre? Gitu kira-kira yang ada di dalam benak kita saat itu. Makanya, gak heran kalau di fase umur segini kita cenderung fanatik pada satu genre musik saja, cuma gara-gara kita merasa kalau genre ini tuh ‘gue-banget’. 

Dari situ jugalah, tanpa kita sadari, kita saling menciptakan circle pertemanan berdasarkan band dan musik apa yang kita ikuti. Stereotype kayak anak emo, anak punk, or popular kids who only listen to the hit songs on radio, pun bermunculan.

Dulu waktu usia saya 13 tahun, saya menganggap kalau saya tidak akan pernah bisa menikmati lagu semacam Death of Dignity dari Sufjan Stevens, dengan petikan ritmik gitar acousticnya yang manis. Saat itu lagu yang saya dengar, harus selalu lagu-lagu dengan efek distorsi, tabuhan drum yang keras, cepat dan energetik, bernarasikan teen angst. 

Fase snob kaya gitu, mungkin juga dialami hampir setiap orang kali ya? Cuma mungkin ada yang keukeuh bertahan di fase snob, ada juga yang mengembangkan preferensi musik yang didengarnya sampai titik di mana dia gak peduli lagi dengan genre, gak peduli lagi apakah lagu yang didengarnya mainstream atau tidak. 

Diumur saya yang sekarang, saya mendengarkan musik berdasarkan mood. Apa yang saya dengar, sudah pasti menggambarkan suasana hati saya. Pengalaman hidup yang jauh lebih banyak ketimbang saya yang usia 13 tahun pun membuat selera musik saya  jadi lebih berwarna. 

Karena preferensi musik pun semakin berkembang, hal ini membuat saya bertanya-tanya, kok bisa saya dulu dengerin Attack Attack!, Sok-sokan nyanyi screamo dan menyebabkan rahang saya dislokasi. Kalau ingat masa-masa itu, saya suka jadi cringe sendiri and I’m absolutely not proud of that! 

Kedengaran familiar? Naha nya urang baheula bisa resep ka lagu A atau musisi dan band B, padahal henteu pisan! Kalau pertanyaan kayak gitu pernah muncul di pikiran kamu, disadari atau tidak, itu berarti selera dan preferensi kamu terhadap musik pun sudah berkembang.

Tapi apa sih yang membuat kita, yang dulunya snob menjadi nggak snob lagi? Apa sih yang bikin kita, yang dulunya anti mendengarkan lagu-lagu selain hardcore misalkan, jadi bisa menikmati musik dengan spektrum yang lebih luas dan berwarna? Apa sih yang membuat kita, yang asalnya punya selera cringe, jadi ngga cringe lagi or at least less cringey?

Nah jawabannya saya temukan dalam penelitian Music Through the Ages: Trends in Musical Engagement and Preferences From Adolescence Through Middle Adulthood dari University of Cambridge, yang ditulis oleh Arielle Bonneville-Roussy, Peter J. Rentfrow, dan Man Kate Xu. Jurnal ini mengatakan ada lima klasifikasi musik berdasarkan kondisi psikis dan kehidupan manusia, terlepas dari genre musik apa yang dipilihnya. Kelima klasifikasi itu adalah Intense, Contemporary, Mellow, Unpretentious dan Sophisticated. 

Di usia remaja, masalah kehidupan yang kita hadapi tidak terlepas dari pencarian identitas diri, masalah dengan orang tua di rumah, masalah sama gebetan di sekolah, dan pengakuan sosial. Di fase ini kita akan lebih memilih musik Intense yang menawarkan narasi-narasi kemarahan, ketidakadilan, maupun persoalan yang menyangkut eksistensialisme manusia. Musik Intense sendiri memiliki unsur musik yang kompleks dan keras. Hal ini dilakukan sebagai bentuk katarsis dan pelepasan emosi yang dirasakan. 

Selain musik Intense, anak-anak remaja juga akan memilih musik Contemporary. Musik Contemporary biasanya adalah lagu-lagu yang sedang happening. Bisa dibilang kalau musik Contemporary adalah musik yang membentuk pop-culture yang berlaku pada zamannya. Lagu-lagu Contemporary yang kita dengar saat remaja, biasanya adalah lagu yang menggambarkan kehidupan sekolah, puppy love, first crush, first kiss, sampai first broken heart. 

Karena di usia segini kita belum benar-benar jujur terhadap diri sendiri, dan cenderung ikut-ikutan atau terpengaruh peer pressure, maka gak heran kalau di usia ini kita juga akan mengikuti musik yang sedang hits atau digandrungi dalam circle pertemanan kita. Dalam kasus saya, adalah Attack Attack!, padahal setelah dicermati lagi ya itu semua hanyalah gara-gara peer pressure.

Selain peer pressure, pemahaman kita yang belum sempurna sewaktu itu juga membuat kita memilih lagu-lagu cinta dengan lirik shallow nan getek, sesuai dengan batas pemaknaan yang kita miliki saat usia remaja. Alhasil, lagu-lagu Secondhand Serenade, jadi gak relate lagi deh setelah kita menginjak usia dewasa. 

Itulah kenapa, orang tua kita dulu sering bilang “It’s just a phase”, ketika menanggapi anaknya yang menyetel musik Intense keras-keras, atau mendengarkan lagu galau yang menye-menye. 

Tapi apa yang kita dengarkan di masa remaja, gak semuanya hanya fase lho. Karena pencarian jati diri yang kita lakukan di masa itu tidaklah sia-sia, dan akhirnya akan mengantarkan kita pada musik yang benar-benar bisa kita nikmati sampai dewasa. Saya sendiri, hingga sekarang masih sangat menikmati musik-musik Intense yang saya temukan di masa remaja. 

Nah lalu, Musik-musik Contemporary nih yang biasanya akan terus kita dengarkan hingga dewasa. Pop-culture yang kita ikuti sewaktu masa remaja, tanpa kita sadari membentuk sebagian kecil dari jati diri kita yang sekarang.

Ngeh gak sih kalau di bar dan club dengan niche umur 25-30’an saat ini, mereka sering banget memutar lagu yang ngehits di era 2000’an, dan jadinya bikin kita feels nostalgic, apalagi kalau lagu itu adalah favorit kita dulu. Yap, hal itu memang sengaja mereka lakukan untuk semakin mempererat engagement dengan pengunjung.  

Di usia dewasa awal, normalnya kita sudah nggak lagi mengikuti peer pressure dan bisa lebih jujur terhadap diri sendiri. Tema masalah kehidupan pun sudah jauh berbeda. Di sinilah musik Mellow akan terasa lebih relate dengan pengalaman hidup kita. Musik Mellow sendiri menawarkan narasi sentimentil dengan tema-tema semacam mencintai lalu kehilangan, quarter life crisis, pekerjaan dan broken dreams. Singkat kata, di usia segini kita akan lebih relate dengan lagu Ordinary World ketimbang Jesus in Suburbia, meskipun keduanya sama-sama bisa dinikmati.

Di titik ini juga lah, bisa dibilang selera musik kita berkembang jauh lebih berwarna karena momen kehidupan yang kita alami pun lebih beragam. Playlist yang kita pilih pun akan menyesuaikan dengan scene kehidupan yang sedang kita alami. Kenapa bisa begitu? Menurut jurnal ini, pada dasarnya manusia memang akan memilih lagu yang dapat memenuhi kebutuhan psikologisnya. 

Terjawab sudah, inilah yang membuat orang yang asalnya snob, jadi nggak snob lagi. Karena pada akhirnya kita menyadari kalau selera kita dalam bermusik memang sangat fluid dan dinamis. Lalu menikmati musik populer itu sama sekali bukan dosa. 

Nah kalau merujuk pada jurnal tersebut, bisa diartikan kalau orang yang masih snob hingga usia dewasa, kemungkinan besar sih perkembangan emosionalnya memang terhambat.

Selain musik Mellow, ada dua kategori musik lagi nih yang akan bisa kita nikmati setelah kita dewasa. Yaitu Unpretentious dan Sophisticated. Unpretentious, biasanya adalah lagu-lagu yang menggambarkan tentang realita kehidupan dalam bentuk yang paling murni. Brutally honest, adalah unsur dari musik Unpretentious. Tema yang diangkat biasanya menyangkut perasaan duka yang mendalam, pengkhianatan, perceraian, kehidupan berkeluarga, middle life crisis, and another form of mundane life. 

The Divine Comedy adalah salah satu band yang menurut saya banyak menghasilkan karya-karya Unpretentious. Dari sekian banyak lagu-lagunya, sejauh ini belum ada satupun lagu yang relate dengan kehidupan saya saat ini. Saya mendengarkan beberapa lagunya, karena secara musikalitas lagunya memang enak didengar. 

(Terlepas dari warna musiknya, lagu-lagu yang diproduksi The Divine Comedy mewakili jenis musik Unpretentious. dok. Song Bar)

Musik Unpretentious sendiri akan lebih dapat dinikmati oleh mereka yang berusia 35-40 tahun ke atas, karena itulah saya belum bisa benar-benar mendalami makna dari musik Unpretentious. 

Lalu ada musik Sophisticated, musik jenis ini adalah musik yang ‘dianggap’ mencerminkan status sosial dan intelektualitas seseorang. Selama ini musik jazz, dan klasik merupakan sinonim dari high culture yang terkesan berkelas dan hanya digandrungi kalangan sosial menengah ke atas. 

Setidaknya anggapan ini berlaku hingga teknologi berkembang pesat. Kalau memang suka, orang-orang yang berada di strata sosial working class, sekarang sudah bisa menikmati produk high culture  lewat internet. 

Anyhow, kata jurnal penelitian ini, mereka yang berada di usia dewasa lanjut dan sudah mapan hidupnya cenderung ingin memperlihatkan keberhasilan mereka, dengan cara mendengarkan musik yang Sophisticated. Hal ini mungkin terdengar konyol buat kita, but the truth is, coba saja datang ke restoran mewah dengan konsep fine dining, kurasi musik yang membangun suasana restoran semacam itu adalah musik-musik Sophisticated.

Begitulah selera musik kita bisa berkembang sejak kita remaja hingga usia dewasa lanjut. Yap, kesimpulannya, selera kamu dalam musik akan terus berkembang sampai kamu tua nanti. Lagu-lagu yang asalnya nggak begitu kamu dengarkan, bisa saja jadi salah satu lagu favorit kamu nantinya.

Kalau saya nggak mati dalam waktu dekat, mungkin suatu saat nanti lagu-lagu dari The Divine Comedy akan terasa lebih nikmat lagi untuk didengarkan, ketimbang di masa sekarang.

Back to top button