Mengingat Kembali The Marmars, Band Pop Punk Legendaris Asal Bandung

Kalau saya dihadapkan dengan pertanyaan “apa band pop punk terbaik yang berasal dari Bandung?”, saya sudah pasti menyebutkan The Marmars sebagai jawabannya. Kenapa harus The Marmars? ‘Kan masih banyak band-band pop punk atau melodic punk Bandung yang keren selain mereka? Bener sih, banyak kok yang lebih ‘keren’ dari pada mereka. Tapi saya meyakini bahwa pop punk adalah musik yang fun, bukan sebatas harus keren dari segi penampilan dan musikalitas. Dan saya rasa, mereka mempunyai kriteria saya untuk sebuah band pop punk yang keren.

The Marmars adalah one-man band dari sosok yang penting bagi perkembangan melodic punk di Bandung dan Indonesia secara umum. Orang tersebut adalah Maruli Hasiholan, pemilik label melodic punk seminal My Own Deck Records dan pemain gitar pertama dari Sendal Jepit. The Marmars merilis EP pertama dan hanya satu-satunya mereka yang berjudul Don’t Hear This di tahun 1999. Semua lagu di EP tersebut direkam sendiri oleh Maruli menggunakan sebuah software komputer. Padahal waktu itu, format one-man band terbilang belum lumrah digunakan oleh para musisi. Apalagi di kancah punk. Gokil ya? Oh iya, karena mereka ini personilnya Cuma sendiri, seringkali kalau ada manggung Maruli mengajak beberapa additional players untuk mengisi instrumen lainnya, Beberapa musisi yang pernah ‘tergabung’ di The Marmars antara lain ada Ian dari Fast Crash, Ucay dan Doni yang dulu sempat tergabung dengan Rocket Rockers.

Kembali ke anggapan saya mengenai kenapa saya menobatkan The Marmars sebagai band pop punk terbaik dari Bandung. Alasannya ada di dua aspek yang saya temukan dari musik mereka, yakni musiknya yang catchy dan penulisan lirik yang ringan tapi relatable. Kita bahas musiknya dulu deh. Hampir semua musik mereka mengingatkan saya ke band-band pop punk luar negeri di pertengahan tahun 90an. Suara gitar overdrive yang tebal tapi efisien sampai ketukan drum yang tidak terlalu dominan tapi terdengar beriringan dengan instrumen lainnya. Kalau harus name-dropping, musik The Marmars samar-samar mengingatkan saya akan Diesel Boy atau The Vandals era Hitler Is Bad.
Ada satu hal yang unik dari musik The Marmars bagi saya. Mungkin karena semua instrumennya direkam sendiri oleh Maruli, jadinya sound yang dihasilkan lumayan nggak kedengeran kayak rekaman di studio lokal. FYI, di zaman itu sound-sound band indie lumayan terdengar kentara kalau dibandingkan dengan band-band yang rekaman di studio yang lebih mumpuni. Waktu saya pertama kali mendengarkan musik The Marmars, saya merasa seperti ditipu. Karena selintas sound yang dihasilkan seperti dari operator studio mahal, ternyata semuanya midi. Tapi yaaa, hal itu nggak mengurangi kualitas lagunya sih, cuma bikin heran aja di awal.

Dari segi lirik, Maruli sepertinya menulis lirik-lirik untuk The Marmars tanpa filter dan diksi pilihan yang super puitis. Singkatnya, he writes what he feels. No pun intended, no analogy. Seperti yang bisa ditemui di lagu favorit saya, “Drums”. “I just play my virtual drums and I will do this everyday. I hope someday that I can play drums better than other drummers.” Lugas, konyol, dan bikin nyengir. Maruli cuma pengin main drum virtualnya doang kok. Itu aja. Mungkin lagu ini menggambarkan kondisi The Marmars sendiri kali ya? Soalnya ‘kan semua drum-nya digambar.
Mungkin saya kurang terlalu detail menjelaskan kenapa The Marmars menjadi band pop punk lokal favorit saya lewat tulisan ini. Mungkin kamu harus mencoba sendiri untuk mendengarkan musiknya. Lagu-lagu The Marmars sudah bisa didengarkan di berbagai platform digital streaming. Ya, mungkin tidak akan sepenuhnya memenuhi ekspektasi kamu yang mungkin sudah mempunyai konsep sendiri tentang apa itu pop punk. The Marmars mungkin nggak punya breakdown di lagu-lagunya, nggak ada synthesizer, nggak nyanyi pop punk lucu kayak Yowis Ben (are they even pop punk?). Tapi The Marmars berhasil membuktikan, it’s okay to be silly and be a punk. The real silly, not the fake one.
Dengarkan musik The Marmars disini.