Mengapa Turnstile Begitu Digandrungi?

Sudah bukan rahasia kalau sebuah band memainkan sebuah musik yang identik “keras” dengan nuansa baru kadang mendapatkan sebuah penilaian yang campur aduk. Ambil contoh musik hardcore. Dalam kancah musik tersebut, menyebrangi atau meninggalkan pakem-pakem permainan lama seringkali dicap sebuah kesalahan atau pelanggaran norma yang tak tertulis. Opini macam “hardcore mah harusnya kayak gini!’ atau “kok hardcore pakaiannya warna-warni?” sepertinya menjadi celotehan yang tak bertuan nan tanpa akhir.

Berbicara soal stigma musik hardcore yang saya tuangkan di atas, sepertinya sosok Turnstile-lah yang kini menjadi topik hangat yang diperbincangkan dengan konteks tersebut. Band asal Baltimore, Amerika Serikat tersebut kini semakin diperbincangkan berkat lahirnya album ketiga mereka, Glow On. Album tersebut bak  mengantarkan mereka kepada jembatan tipis yang bisa saja menjatuhkan mereka ke jurang kritikan atau ke lembah pujian. Banyak pelaku sekaligus penggemar musik hardcore yang menganggap mereka sebagai anomali berkat musik dan fashion yang mereka sajikan di penampilannya. Tapi harus diakui, Turnstile telah berhasil membawa musik hardcore ke tingkatan yang jauh melejit dibandingkan para predesornya terdahulu. Lantas, apa yang membuat banyak menggandrungi Turnstile? 

6344
Sumber : Nme.com

Turnstile terbentuk pada tahun 2010 setelah Brendan Yates menyadari bahwa dia membutuhkan kanvas baru untuk menorehkan kreativitasnya di luar Trapped Under Ice, band yang yang ia gawangi sebelumnya. Untuk memulai kiprah Turnstile, dia dan Brady Ebert merekrut merch boy dari Trapped Under Ice yakni Franz Lyons untuk mengisi posisi bass. Daniel Fang, seorang teman kampus Yates pun diajak bergabung untuk bermain drum di Turnstile. Di tahun 2015, Pat McCrory dari band Angel Du$t melengkapi formasi Turnstile ketika gitaris pertamanya hengkang.

Album pendek mereka yang bertajuk Pressure to Succeed (2011) dan Step 2 Rhythm (2013) adalah amunisi awal mereka untuk mulai berkiprah di ranah hardcore punk. Nuansa musik yang mereka sajikan mungkin terasa nyeleneh dibandingkan band-band koleganya. Contohnya, mereka selalu mengutilisasi beberapa sampling musik hip hop di beberapa bagian awal atau akhir lagu-lagunya. Meski banyak korelasi antara pelaku dan kancah antara hip hop dan hardcore, Turnstile seakan memberikan sentuhan terakhir yang lebih solid terhadap hubungan tersebut lewat cara tersebut.

Album penuh pertama mereka, Nonstop Feeling (2015) adalah sebuah jembatan yang besar untuk karir mereka. Meski awalnya dirilis oleh label hardcore independen, Reaper Records, album tersebut berhasil menarik perhatian label mayor bernama Roadrunner Records. Walhasil, di tahun berikutnya album tersebut dirilis ulang melalui payung Roadrunner Records. Sebetulnya mereka bukanlah band hardcore pertama yang telah menjalin kerjasama dengan label raksasa tersebut. Nama-nama seperti Madball dan Biohazard pun pernah bekerjasama dengan label tersebut. Here’s a hot take, saya rasa keputusan Turnstile untuk bergabung dengan Roadrunner adalah hal yang tepat dan patut di apresiasi. Berkat kerjasama tersebut, musik hardcore kini perlahan mulai bergaung kembali di berbagai jenis kuping pendengar musik. 

Tak berhenti di album pertamanya, Turnstile semakin menancapkan eksistensinya lewat album sofomornya yang bertajuk Time and Space (2018). Album tersebut dirilis di seluruh dunia pada 23 Februari 2018 di bawah bendera Roadrunner Records. Di AS, Time and Space sempat menembus nomor satu di tangga lagu Billboard Heatseekers Albums dan juga merengsek di berbagai tangga lagu di berbagai belahan dunia. Tentu hal itu merupakan sebuah pencapaian besar untuk sebuah band yang bermain di lingkup ranah musik hardcore. 

Dari fenomena Turnstile, saya rasa ada garis besar hipotesis yang bisa ditarik untuk lebih dipahami. Kemunculan dan metode permainan Turnstile layaknya seperti meleburkan semua konsep batasan dan parameter sebuah genre musik. Di era seperti hari ini di mana identitas musik tidak terlalu penting bagi seorang individu, Turnstile dengan gamblang menampilkannya lewat musik dan fashion-nya. Bukti paling konkretnya terlihat nyata di album terbaru mereka, Glow On. Meski mayoritas musiknya masih di ranah hardcore punk/hard rock, mereka semakin tidak malu-malu untuk memamerkan elemen-elemen musik lain di dalamnya. Untuk pendengar musik hardcore lama mungkin langkah tersebut bisa dianggap sebagai blasphemy dan menyalahi aturan main musik hardcore. Tapi untuk para pendengar musik hari ini yang lebih menjunjung tinggi eksplorasi dan kerumitan musik, mungkin apa yang Turnstile mainkan lebih menangkap hati dan simpati mereka. Saya jadi teringat akan album dari Refused yang bertajuk The Shape Of Punk To Come (1998). Rasanya Glow On milik Turnstile mempunyai nuansa yang sama dengan album tersebut. Sama-sama “aneh” dan revolusioner untuk eranya sendiri.

Untuk memperluas perspektif perihal Turnstile ini, saya mengobrol santai dengan dua orang dari kancah hardcore yang berbeda generasi. Argha dari unit metallic hardcore asal Bandung, Prejudize. Dia berpendapat, “Manuver yang dilakukan mereka tuh bisa dibilang jenius. Karena orang yang enggak dengerin hardcore pun jadi dengerin. Kalo soal musikalitas dan fashion, mereka (menunjukkan) kalau hardcore tuh enggak harus ‘gitu’. Menurut gue, ya bisa dibilang pembaharuan yang tepat untuk era sekarang secara persona dan materi musik.”

Dari opini Argha, ada poin yang menarik bagi saya tentang fashion hardcore yang enggak perlu “gitu”. Penampilan maskulin yang sering digunakan oleh para pelaku terdahulu ternyata membekas hingga sampai saat ini. Pilihan fashion para personel Turnstile yang seringkali dinilai lebih tepat untuk ranah hip-hop nyatanya terus menjadi bahasan di ruang lingkup musik haradcore itu sendiri. Tapi kalau dipikir-pikir memangnya salah ya kalau memilih untuk berpenampilan seperti itu? Bukan hardcore punk adalah kancah yang menjunjung tinggi perbedaan setiap orang di dalamnya? Bukankah jargon united as one seringkali disuarakan oleh banyak orang di dalamnya? Lalu mengapa banyak orang masih menyukai Shelter (band yang dibentuk oleh Ray Cappo dari Youth Of Today dengan estetik spiritual ala Hare Khrisna yang kental) meski mereka memainkan musik dan mempunyai estetik visual yang berbeda? Dengan konteks tersebut, saya rasa Turnstile pun mempunyai hak untuk menjadi berbeda dan mewakili estetik untuk zaman sekarang. Which is alright.  

Rich Music Turnstile
Sumber: Loudwire.com

Agar perspektif berimbang, saya pun meminta opini dari seorang pelaku lama di musik hardcore tanah air, yaitu Amet, pentolan dari band hardcore Take A Stand, KIDSWAY dan sekarang memperkuat unit hardcore veteran Kota Kembang, Full Of Hate. “Menurut saya, mereka (Turnstile) ciamik bin niks niks (red – nikmat),” ujar Amet. Dia pun menambahkan, “Ketika di tahun 2010-an band-band hardcore banyak yang memainkan (gaya) beatdown dan youth crew, mereka (lebih) cerdas dalam meracik musik(nya)! Mereka bisa menggabungkan karakter band-band hardcore punk dari era 80 – 90-an macam Bad Brains, Snapcase, Beastie Boys, D.R.I. Tapi mereka iringi (dengan) sedikit sentuhan 311 dan dipadukan dengan sampling-sampling lagu kuno! Itulah Turnstile”. Ketika membahas perihal fashion yang dikenakan oleh Turnstile, Amet menjawab, “Fashion yang mereka terapkan di keseharian dan gigs-nya (sepertinya muncul dari) kedekatan mereka dengan salah satu brand skateboard yaitu Carpet Company yang juga menghasilkan kolaborasi produk yang hype. (Hal tersebut seakan menjadi) sebuah jembatan kultur yang mengakar di mana musik dan skateboard adalah tetangga sebelah yang sering ngobrol bareng sambil barbeque di halaman belakang”.

Dari paparan Amet, saya setuju jika Turnstile secara tidak langsung telah berhasil kembali menjembatani berbagai macam kultur lewat musiknya, teutama fashion. Mungkin stereotip musik hardcore punk yang kesannya tidak peduli akan penampilan hari ini mulai agak tidak relevan berkat banyaknya pelaku musik yang sudah lebih mawas akan tampilan kesehariannya. Belum lagi menjamurnya brand-brand streetwear yang secara harga lebih aman di kantong para scenesters semakin memperbesar kesempatan untuk semua golongan orang dari latar belakang musik yang berbeda bisa berpenampilan menarik. Turnstile menunjukkan bahwa tidak ada salahnya untuk tetap mengikuti zaman tanpa harus menghilangkan keyakinan mereka terhadap karyanya sendiri.

Sebetulnya pembahasan polemik macam ini mungkin akan kembali hadir beberapa tahun ke depan ketika ada band lain yang sosoknya sekuat Turnstile dan memberikan warna baru di suatu kancah musik. Karena pada akhirnya dialog semacam ini memang akan terus bergulir di sebuah lingkup musik untuk membuktikan bahwa semua pelaku di dalamnya memang punya kepedulian lebih terhadap nilai di dalam musiknya. I know it’s more than a fashion, but then again, if a change is actually good, why not we embrace it?

Related Articles

Back to top button