Menelisik Hubungan Antara Musik Metal dan Kesehatan Mental

Apa yang kamu tangkap ketika mendengarkan kata musik “metal”? Mungkin kebanyakan akan banyak yang berasumsi dan menggambarkan bahwa musik ini digandrungi oleh orang-orang dengan rambut panjang, kaos hitam pekat, dan kedua telinga yang siap dijejali teriakan tanpa arah yang tercampur dengan raugan distorsi.
Tapi, kalian pasti pernah dengar juga statement sotoy dari para boomer bahwa musik dengan ketukan yang ugal-ugalan dan berisikan banyak teriakan adalah musik yang sangat identik dengan kekerasan, kriminalitas, gaya hidup bebas, depresi, dan bahkan sampai hal yang paling nggak masuk akal, yaitu menyebut metal sebagai aliran musik setan.
Dari beberapa poin di atas, saya hanya ingin membahas satu hal dalam artikel ini, yaitu mengenai depresi atau masalah mental yang katanya secara nggak langsung mengganggu akal sehat ketika kamu mendengarkan musik-musik “keras” semisal metal. Saya sendiri nggak tahu kenapa lebih banyak muncul stigma negatif ketimbang positif mengenai musik tersebut, salah satu penyebabnya mungkin karena chaos-nya gelaran yang selalu mengikutsertakan band-band semacam ini? Entahlah, biar saja mereka mati tergerogoti oleh asumsi dangkal mereka sendiri.
Tetapi, jika kita membuka mata ke ranah metal internasional, ada beberapa kasus kriminal yang terbilang cukup insane yang melanda musik metal. Masih ingat dengan penembakan gitaris dari grup band Pantera? Ketika band ini memutuskan hiatus pada 2003, sang gitaris, Darrell membentuk sebuah band bernama Damegeplan.

Sialnya, 2004 ketika Darrell dan Damageplan mengisi sebuah acara di Colombus, Ohio. Darrell tertambak di bagian kepalanya oleh seseorang bernama Nathant Gale yang mengaku sebagai penggemarnya sendiri. Banyak asumsi publik yang beredar mengenai kasus ini, mulai dari Nathan Gale yang mengonsumsi substansi hingga ia yang kecewa karena hiatusnya Pantera.
Kasus lainya adalah kasus penembakan pada tahun 1999 yang terjadi di Colombine High School, Amerika Serikat. Dua siswa yang bernama Eric Harris dan Dylan Klebold membunuh 12 siswa di kantin dan perpustakaan mereka secara brutal dengan menggunakan senjata api, dilaporkan dengan sangat keliru salah satu pemicu mereka melakukan aksi ini karena mereka berdua terpengaruh oleh karya-karya dari Marilyn Manson.

“Pemberitaan media secara tidak adil mengambinghitamkan musik dan anak-anak gothic tanpa dasar. Musisi seperti saya selalu kena imbasnya. Tragedi ini adalah produk dari ketidak pedulian, kebencian, dan akses kepemilikan senjata. Saya harap pemberitaan miring media tidak mendiskriminasikan remaja yang terlihat berbeda,” kata Marilyndikutip dari The New York Times.
Dua kasus di atas bagi saya hanya sebuah stigma yang terbentuk dari kasus yang terjadi pada musik metal, ketika media pemberitaan menggiring opini publik pada arah yang negatif, kacamata publik yang terbentuk secara otomatis, ya akan negatif juga. Untuk secara dangkal dan menilai bahwa musik tersebut dekat sekali dengan kekerasan, segala bentuk gangguan mental, bahkan bisa menjadi pemantik kriminalitas.
Tetapi, beberapa tahun ke belakang ada beberapa penelitian yang menjadikan musik metal dan musik semacamnya sebagai objek dan menyangkut pautkan dengan masalah kesehatan mental. Seperti yang dilansir NME, dalam sebuah penelitian bertajuk The Life Experiences And Mid-Life Functioning Of 1980s Heavy Metal Groupies, Musicians and Fans yang dilansir dari jurnal Self and Identity. Tim penyusun laporan tersebut menghimpun data dari 377 orang yang terdiri dari mantan penggemar, masih menyukai, dan yang sama sekali tidak mendengarkan musik metal.
Dalam studi ini memang terkuak fakta bahwa para penggemar musik metal kerap mengalami trauma terhadap gaya hidup bebas yang identik dengan narkoba dan seks bebas. Namun, identitas dan komunitas metal juga bertindak sebagai faktor pelindung dari efek negatif dunia luar. Bisa dibilang komunitas dan musiknya itu jadi boundary buat mereka secara personal.
“Dukungan sosial adalah faktor perlindungan krusial bagi remaja yang bermasalah. Penggemar dan musisi memiliki rasa kekeluargaan dalam komunitas metal dan mengalami emosi tinggi bersama orang yang sepaham,” demikian kutipan laporan studi tersebut.
Suatu hal yang saya tangkap dari penelitian tersebut adalah bagaimana pengaruh musik yang mereka dengarkan menjadi suatu output yang positif karena rasa kebersamaan yang terjalin di komunitas bisa menjadi juru selamat dari hal-hal negatif dan trauma yang mengerikan di masa lalu. Lewat dukungan sosial dan pengakuan komunitas pula mereka merasa tidak sendiri dan merasa terisi.
Sebelumnya, ada pula penelitian dari University of Queensland School of Psychology yang menunjukkan bahwa mendengarkan musik bising dapat membantu orang memproses amarah dan meningkatkan emosi positif. 39 orang responden berusia 13-34 tahun ikut serta dalam penelitian ini. Para responden diminta untuk melakukan reka ulang situasi yang membuat mereka merasakan situasi buruk yang terjadi pada masa lalu. Saat amarah berkecamuk, mereka bebas memilih untuk mendengarkan musik pilihan sendiri atau hanya duduk diam.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa saat penggemar musik keras mendengarkan lagu kesukaan mereka, amarah tersebut tidak meningkat. Faktanya, tingkat amarah justru menurun dan pada saat bersamaan, beberapa emosi positif meningkat secara organik pada diri mereka.
Lewat penelitian ini saya dapat beropini bahwa ketika beberapa orang tidak bisa merilis emosinya, musik dapat memberikan medium untuk menyalurkan keresahan yang tertanam pada diri mereka masing-masing. Apakah ketika kita sedih harus diasupi oleh lagu-lagu slowcore yang cengeng mampus? Nggak juga, karena ini sesuatu yang begitu personal, jadi mungkin beberapa orang harus diberikan asupan musik keras semisal musik metal untuk mengeluarkan dan meredam emosi dari dalam diri mereka.
Tentunya, setiap orang mempunyai obat masing-masing untuk mengobati carut-marut keadaan emosi mereka, salah satunya dengan mendengarkan musik keras semisal metal. Dibalik media yang selalu mengkambing hitamkan musik, yang seolah-olah harus bertanggung jawab dari beberapa kasus yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya secara serius, alias cuma tuduhan abu dan asumsi sumbu pendek.
Jadi, masih ada yang mau beranggapan bahwa musik kerasa semisal metal itu adalah identik dengan kekerasan, kriminalitas, gaya hidup bebas, depresi, bahkan sampai yang paling nggak masuk akal, yaitu menyebut metal aliran musik setan? Saya kembalikan itu semua kepada kalian deh, friend.
*Ditulis oleh Reza