Media Alternatif, ‘Juru Selamat’ Jurnalisme Musik?

Melihat bagaimana media arus utama saat ini berjalan, bagi saya yang lahir di era teknologi di mana portal-portal informasi dapat diakses dengan mudah, tentu media arus utama dirasa cukup membosankan, terlebih dalam ranah musik.Bukan sedang dalam upaya untuk mengkritisi sesuatu, hanya saja apa yang saya cari mungkin nggak disediakan oleh beberapa media arus utama saat ini, hingga pada akhirnya saya melakukan pelarian dengan mencari media alternatif.

Saya sendiri kurang tahu pasti bagaimana perkembangan media alternatif sebagai salah satu opsi bagi publik untuk dikonsumsi secara spesifiknya. Semakin lama berbagai media arus utama semakin berfokus pada profit dibandingkan sajian berita yang diberikan, sehingga pada akhirnya hanya menyajikan isu-isu yang mampu memberikan atensi besar dari masyarakat demi terus menghidupi ‘nyawa’ media tersebut.

Kita tak dapat menutup mata, media sekaliber Rolling Stone atau Trax yang sempat menyulut sumbu bergolaknya jurnalisme musik di ranah media pun bahkan tak terlacak lagi radarnya saat ini. Pailit. Meskipun, peran mereka tak dapat dikesampingkan begitu saja. Kemuculan media-media alternatif di hari ini pun mungkin masih menjadi perpanjangan nafas dari apa yang sudah mereka tinggalkan. Namun, jika menoleh ke belakang, sekitar abad ke-17 dan 18, media paling awal yang muncul ke permukaan dalam melakukan pembahasan soal musik mungkin adalah Allgemeine musikalische Zeitung.

220Px Allgemeine Musikalische Zeitung I 1798 1799
Allgemeine Musikalische Zeitung (Wikipedia.com)

Pada era itu, pembahasan seputar musik belum diperhitungkan sebagai laporan khusus. Namun, Allgemeine musikalische Zeitung disebut Comini (2008) sebagai “majalah musikal terkemuka pada masanya.”. Meskipun hanya meliputi sekitaran negara-negara Eropa seperti Inggris, Italia, Prancis, dan Rusia.

Memasuki babak abad ke-19, musik modern pun mulai menyentuh peradaban manusia dan banyak digandrungi oleh berbagai kalangan, sehingga bermacam-macam konten pun turut lahir dari berbagai media. Sebuah media bernama Billboard menjadi salah satunya yang menentukan ke mana arah jurnalisme musik lewat majalah terbitannya. Dan setelahnya, banyak media-media musik lainnya bermunculan.

Terlepas dari siapapun nama yang disebutkan, dapat saya katakan bahwa media alternatif cukup berperan penting dalam menghidupi jurnalisme musik sebagai salah satu konsumsi khalayak. Menjadikan fokus musik sebagai daya tarik tersendiri yang mampu melahirkan berbagai unsur untuk memberikan atensinya macam kritikus musik, jurnalis musik, dan sebagainya.

Ya, saya sudah mulai berlagak seperti seorang pemerhati media andal dengan ribuan metode analisa yang ada dalam kepala. Nyatanya, saya masih ‘seumur jagung’ dan belum kompeten dalam menulis hal semacam ini. Jika saja saya dilahirkan lebih awal, mungkin apa yang saya gurat sekarang mampu melahirkan berbagai spekulasi dalam perkembangan media alternatif. Namun sayang, mungkin ini hanya akan dianggap sebagai omong kosong belaka.

Di Indonesia sendiri, mungkin nama yang menduduki posisi tersebut adalah Aktuil, majalah musik yang terbit pertama kali pada 8 Juni 1967 di Bandung. Nama tersebut terinspirasi dari salah satu media musik asal Belanda, Actueel. Mencapai masa keemasannya di tahun 1970-1975, Aktuil sempat “dinobatkan” sebagai bacaan wajib anak muda saat itu, hingga akhirnya benar-benar padam di tahun 1986.

Infobdg
Aktuil (Infobdg.com)

Jika melihat dari kacamata pribadi, saya belum menemukan definisi pasti dari media alternatif, hanya sebatas “berbeda” dari media pada umumnya. Sekilas, batasan di antara keduanya pun terasa cukup rancu, melihat bagaimana media arus utama saat ini cukup melahirkan pandangan serius tehadap media-media arus pinggir karena sering dianggap anti-homigen (melawan berbagai nilai dan kepercayaan yang dominan dalam suatu budaya).

Akibat anggapan tersebut, jurnalisme musik pun mampu memainkan perannya sebagai bentuk kegiatan mengkritik dan pelaporan media tentang topik musik. Sebagai media arus pinggir, rasanya melahirkan pandangan subjektif dari sang penulis atau sikap media itu sendiri tersebut cukup mendapatkan jaminan. Meskipun tetap berpangku pada ‘kritik yang tajam dan cerdas’.

Walaupun sebenarnya, hal tersebut tak selalu menjadi jaminan, namun saya rasa media alternatif merupakan medium terbaik dalam menghidupkan jurnalisme musik sebagai konsumsi publik sejauh ini. Sekirannya, sudah cukup banyak nama yang tertorehkan sebagai motor yang  menghidupi hal tersebut, mengampu tongkat estafet dari waktu ke waktu sampai kalian dapat melihat bagaimana jurnalisme musik berjalan hari ini, masih mempertahankan serpihan-serpihan yang tersisa, meskipun tak sedikit pula yang mulai menjadikan media sebagai pasar sekedar ‘jual beli musik’.

Oleh: Ilham Fadhilah

Related Articles

Back to top button