Mati dan Terkuburnya Media Cetak di Ranah Musik Kita

Era digital memang terkadang terdengar payah. Penawaran kecepatan informasi dan kemudahan mengaksesnya bisa diperoleh secara gratis.Hal itu yang membuat value dari sebuah ulasan atau artikel “musik” lambat laun memudar. Karena ketika suatu website media musik hanya mementingkan algoritma mentah data traffic pengunjung, value konten musik di dalamnya malah jadi terasa ‘palsu’. Rata-rata mereka hanya mengeksploitasi headline tulisan yang menarik padahal isinya cuma ulasan yang basi dan mencekik.
Sebagai orang yang lahir dan tumbuh di era digital, saya selalu mendapatkan cerita dari orang-orang yang sedikit lebih dulu lahir ke dunia ini tentang romantisme ala majalah musik di era kejayaanya. Yaaa, kebetulan saya tumbuh besar di kota Bandung, cerita tentang Ripple, Trolley sampai HAI selalu menghantam kuping saya. Bagaimana lagi, eksistensi media-media tersebut memang signifikan dan krusial pada masanya bagi kota tempat lahir.

Romantisasi majalah musik di zaman itu dilengkapi dengan berbagai pembahasan yang cukup kentara. Mulai dari ulasan konser musik di skala lokal sampai internasional, album-album terbaik, hingga pilihan referensi band-band rookie pada saat itu. Semua itu selalu mereka ceritakan serta merta dengan senyuman sinis di percakapan soal media musik “pada zamannya”. Seperti tersirat pesan bahwa masa lalu itu selalu lebih baik dari hari ini.
Bahasan perbandingan selalu terdengar layaknya teriakan kosong bagi kuping saya. Konteks era saya “lebih asik” lah atau era saya “lebih effort” lah, selalu seperti itu. Tapi nggak dipungkiri, pada dasarnya saya sebetulnya setuju dengan anggapan tersebut. Kalau merunut sejarah, memang pada saat itu akses internet sangat terbatas. Nggak kayak sekarang, semua lahan informasi musik yang bisa diakses mudah di internet belum tentu bisa diakses dengan mudah di zaman itu. Tapi kalau ngomongin zaman, tentu masing-masing punya parameter sendiri. Kasarnya sih, tiap zaman tuh punya romantismenya masing-masing. Jadi nggak perlu lah dibanding-bandingkan. IMO.
Romantisme itu kerap masih terdengar hingga sekarang. Tapi realita nggak semanis nostalgia. Coba kita mengingat masa circa 2016 ketika media musik sebesar Trax harus gulung tikar. Nggak lama dari situ, Rolling Stone Indonesia pun harus mengalami nasib naas yang sama. Kalau mau dibayangin, kejadian itu tuh kayak suatu scene pada film thriller berantagonis serial killer. Tinggal tunggu waktu untuk memutus dan menggorok leher korban-korban di film itu sampai semuanya mati. Hiiii takut~ Tapi beda cerita sama HAI. Mereka masih eksis tuh sampai hari ini padahal udah beda format. Mungkin mereka bisa survive sampai hari ini dengan memfokuskan diri mereka di ranah daring dan mengikuti arus perubahan zaman.
Pergeseran tren format informasi di dua dekade ke belakang memang terasa deras dan instan. Tiba-tiba nggak kerasa aja semua konten tulisan mulai berubah menjadi format audio dan pada akhirnya berevolusi menjadi audio visual. Tentu perubahan itu dilandasi oleh demand arus informasi yang mengikuti orang-orang di zamannya masing-masing. Kalau kita persempit konteksnya kembali ke musik, apakah faktor itu yang membuat media cetak dalam ranah musik itu ‘mati’? Call me anything what you want, saya sebetulnya setuju tentang hal itu.
Sebenernya kalau diperhatikan, nama-nama sebesar Kerrang! dan Metal Hammer juga mulai terlihat ‘menyerah’ dengan keadaan. Mereka pun mulai membuat formula baru pada asetnya sekaligus pada praktik jurnalisme musik mereka. Yaitu dengan memanfaatkan medium berkapasitas digital, seperti merambah ranah audio visual lewat Youtube bahkan membuat format interview berbentuk podcast. Oh iya barangkali kamu lupa, dua nama tersebut awalnya memang berformat cetak. See what I mean?
Kalau kejadiannya kayak gitu, bisa dibilang nggak kalau perkembangan teknologi pada akhirnya sangat berperan dalam ‘kematian’ dan terkuburnya media cetak di ranah musik kita hari ini? Beberapa rubrik dalam majalah yang dulu sempat menjadi peluru yang bisa menembus pasar pembaca kini sudah tergantikan dengan amunisi digital yang lebih ‘mematikan’. Contohnya, ketika jurnalis musik pada zaman itu harus bela-belain buat berangkat ke luar negri demi meliput konser berskala internasional dan membagikan ceritanya lewat tulisan kepada para pembaca, kini telah tergantikan dengan tayangan langsung ataupun video report yang dikeluarkan lewat akun media sosial resmi dari penyelenggara acara tersebut. See? Jelas di era sekarang orang-orang lebih tertarik dengan format yang kedua, karena bisa melihat dan mendengarkannya secara real-time meski dipisahkan oleh ruang dan waktu yang berbeda.
Sama halnya untuk referensi musik. Pada zaman itu mungkin hal itu hanya bisa didapatkan lewat media cetak atau fisik. Kalau sekarang, referensi musik bisa dengan mudahnya bertambah cuma dengan membayar uang bulanan untuk aplikasi Spotify yang menyediakan fitur related artist dan playlist bulanan. Iya nggak? Akuilah, media cetak hanya menyisakan cerita romantisme lama dan fungsinya lambat laun sudah tergantikan. Truth hurts, friend.
Meski terdengar usang, di satu sisi sebenernya metode klasik ala media cetak itu masih dibutuhkan di zaman ini. Yaitu aspek value tulisannya yang lugas tanpa ada pretensi pencarian traffic lewat click bait. Mungkin hal itu bisa tetap bisa dimunculkan meski mediumnya sudah berubah menjadi digital.
Saya melihat hal itu mulai diimplementasikan oleh berbagai sosok ‘pelaku lama’ di media. Sebenernya nggak apple-to-apple sih, tapi apa yang mereka lakukan itu berhasil menjembatani jurnalistik musik dari dua era dengan apik. Salah satunya adalah eks-jurnalis Rolling Stone Indonesia, Soleh solihun, yang kerap melakukan interview musisi lewat Youtube sejak beberapa tahun terakhir. Atau seniornya Soleh, Adib Hidayat yang juga jurnalis musik dari Rolling Stone Indonesia yang sering terlihat mondar mandir di berbagai acara musik online. Contoh lainnya ya HAI. Mereka bisa menunggangi perubahan zaman dan tetap menjadi relevan dengan konten-konten digitalnya.
Mungkin media musik sekarang sudah mengurangi atau bahkan tidak lagi merilis majalah dengan format cetak. Seperti yang sudah saya bahas di atas, gaya mengkonsumsi informasi sudah berubah. Ranah digital sudah menjadi pilihan yang tak perlu diperdebatkan lagi. Mungkin kalau konteksnya diperluas ke skala yang lebih underground, pergerakan media zine bisa dianggap salah satu format ‘lama’ yang masih kerap diimplementasikan di masa kini. Tapi perlu diingat, skala zine seringkali hanya bergerak secara sektoral dan segmented. Dan biasanya tidak berpengaruh terhadap pembaca atau orang-orang di skala yang lebih besar. Sekali lagi, truth hurts. But more power to you, zine people.
Zaman sudah memaksa kebiasaan dan metode berubah. Romantisme masa lalu mungkin dengan berat hati harus kita tinggalkan. Meninggalkan bukan berarti menghilangkan, esensi semangat dan value akan terus abadi lewat pembahasan apa pun. Mungkin kalau diberikan pembaruan formulasi yang relevan di keadaan yang serba daring ini, value media cetak bisa jadi ‘hidup kembali’ lagi. Tapi sebelum formula tersebut ditemukan dan disepakati oleh berbagai pihak, saya rasa media cetak di ranah musik tetaplah akan terasa ‘mati’ di hari ini. Nah, pertanyaannya buat kita semua adalah apakah kita mau menyerah kepada keadaan dan membiarkannya ‘mati’ atau kita semua akan berusaha untuk mencari cara lain untuk membuatnya hidup kembali? Hanya waktu yang akan menjawabnya.