HL, Band Post-Hardcore yang Ceritakan Kisah Mengenai Kehidupan Melalui Spoken Word

Sejak menulis artikel rekomendasi band yang menggunakan spoken word pada lagu-lagunya, saya jadi penasaran, di Indonesia ada berapa banyak sih band yang menggunakan format serupa dalam musiknya. Sebelumnya, saya telah mengetahui Senja Dalam Prosa dan BUKTU yang cukup konsisten menggunakan style tersebut pada karya-karyanya. Kemudian saya mencoba mengeksplorasi sosial media untuk mencari band yang saya maksud tersebut, tapi akhirnya saya menemukannya dari surel submission yang dikirimkan kepada Rich Music. Emang ya, kalau niat disertai dengan usaha mah ada aja jawabannya, walau dari tempat yang nggak diduga.

Anyway, band yang saya temukan adalah HL, band post-hardcore asal Jakarta. Tidak jauh berbeda dari kedua band yang saya sebutkan sebelumnya, kuintet tersebut membawakan musik post-hardcore yang dikombinasikan dengan post-rock sebagai identitas bermusiknya. Secara terbuka mereka juga mengakui banyak terinspirasi oleh band-band seperti Hotel Books, La Dispute, Modern Guns, dan A Thousand Punches, sehingga bagi yang belum mendengarnya, bisa sedikit membayangkan mengenai musik yang mereka bawakan.

Pada tahun 2019 yang lalu, HL telah merilis sebuah EP berjudul Life Isn’t Love’ berisikan 5 track yang menurut saya terasa cukup beragam, tidak terlalu berpaku pada style musik utama yang menjadi ciri khas mereka. Seperti yang terdengar pada track ‘3.14’, di tengah aransemen musik bertempo sedang yang diiringi oleh orasi spoken word, tiba-tiba mereka menyelipkan part breakdown dan gang vocal yang cukup mengejutkan bagi saya. Sebuah twist yang sama sekali tidak saya duga. Kemudian pada track ‘Surrounded’ yang terdengar sangat berbeda dengan track lainnya di mana HL mencoba bermain dengan aransemen musik ala metalcore.

Namun menurut saya, secara lirik, kekuatan mereka sebenarnya ada pada 2 track berbahasa Indonesia, yaitu ‘Sabtu Malam’ dan ‘Musim Penghujan’. Karena saya dapat mendengar liriknya secara jelas, dan juga emosinya cukup dapat dirasakan. Namun, jika ditanya mengenai aransemen mana yang paling menarik, maka saya akan menjatuhkan pilihan pada track ‘3.14’. Akan lebih menarik rasanya jika HL mencoba untuk menggabungkan aransemen dengan nuansa post-rock yang kental, tapi dengan memasukkan twist seperti pada track ‘3.14’ dan juga menggunakan lirik berbahasa Indonesia. Bakalan keren itu mah.

Namun, sebagaimana sebuah band pada umumnya, tentunya ada beberapa hal yang dapat di-improve oleh HL, salah satunya adalah pada penyampaian spoken word yang masih terasa flat, sehingga emosinya kurang tersampaikan. Saya nggak tahu juga sih, apakah itu memang bawaan dari sang vokalis yang dilakukan dengan sengaja, atau gimana. Tapi menurut saya, penekanan pada intonasi khususnya pada spoken word itu sangatlah penting, untuk menggambarkan emosi yang dituliskan pada liriknya. Karena harus disadari, selain melalui lirik, cara penyampaian dari sang vokalis juga sangat berpengaruh terhadap reaksi penerimaan dari para pendengarnya. Kalau keduanya dapat dikombinasikan, maka saya jamin impact yang keluar akan terasa lebih powerful.

Sebagai perkenalan, track-track yang ada pada album ‘Life Isn’t Love’ cukup membekas bagi saya. Selanjutnya, saya berharap akan ada sesuatu yang baru dari HL secepatnya, ketika banyak orang yang sudah mulai aware dan menyukai musik seperti ini. Ketika saya melihat laman sosial medianya, tercatat aktivitas terakhir adalah pada bulan November 2019 lalu. Semoga saat ini mereka tidak hiatus maupun bubar, melainkan sedang menyiapkan suatu kejutan untuk diperdengarkan pada khalayak ramai. Semoga.

Related Articles

Back to top button