RICH FEATURESRICH HIGHLIGHTSRICH INTERVIEW

Good Morning Everyone: Dari Rock Sampai Pop, Tetep Disamain sama Sheila On 7

Jumat siang di tanggal 28 Januari, grup pop, Good Morning Everyone (GME) masih dalam rangkaian roadshow untuk promosi mini album terbaru mereka, Lusi. Bandung menjadi kota kedua yang mereka sambingi setelah sebelumnya mengunjungi Jakarta. Dalam kunjungannya, mereka pun menyempatkan untuk menyinggahi kantor Rich Music Online hingga pada sorenya, mereka bergegas guna keperluan taping virtual show di tempat lain.

Siang yang cukup terik di hari itu, kuartet berisikan Ichsan Sani, Daniel Belza, Yuli Perkasa, Dani Kunyik dan Erin Hadinata tersebut datang sekitar pukul satu siang setelah menembus macetnya jalanan Kota Bandung menjelang long weekend. Tanpa terlihat letih sedikit pun, kami mulai berbincang mengenai hal-hal lain seraya duduk melingkar di meja yang sama, sebelum saya akhirnya melontarkan beberapa pertanyaan yang sudah disiapkan guna keperluan interview.

Singkat kata kami pun memulai topik mengenai mini album yang baru saja mereka rilis pada Oktober tahun lalu bertajuk Lusi. Di sini, mereka sudah terdengar jauh lebih dewasa. Sebelumnya, grup asal Semarang ini pada awal kemunculannya merupakan unit yang bermain musik pop punk/emo. Muncul di era 2008-an, membuat apa yang mereka mainkan (saat itu) bukan lagi barang aneh untuk ditemukan. Mengingat era itu juga cukup banyak band-band dengan musik sejenis. Nyatanya, mereka pun tak luput dari gerombolan orang tersebut. 

Terlebih di era muda mereka, rasanya musik-musik semisal terasa begitu mewakili spirit sepenuhnya. Dengan musik tempo cepat diikuti ungkapan lirik-lirik personal namun tetap poppy pun dimaktub menjadi senjata mereka. Menyinggung hal tersebut, mereka lantas mengenang bagaimana mereka mula bermain musik di bawah bendera GME

Good Morning Everyone
Lusi (2021)

Tanpa memungkiri, mereka pun sempat berada di fase; “Dulu di tahun 20008-an band-band-an kalo nggak emo nggak mau, kalau nggak kenceng nggak mau,” semangat darah muda yang begitu kental. Meskipun hari ini mereka sudah tak ada lagi di sana 

Bagaimana perjalanan mereka dari rock hingga pop rasanya tak hanya sekedar menjual idealisme bermusik belaka. Faktor eksternal lain (yang tak dapat dihindari) semisal pergantian personel pun menjadi pendukung lainnya. Memunculkan kepala-kepala baru cukup merubah haluan musik mereka. Mungkin alasan lainnya juga masih tak jauh dari dalih pendewasaan. Meniti karir sejak 2008 membuat mereka hari ini tak dapat lagi dikatakan muda(?). 

“Sebenarnya karena pergantian personel. Dan masing-masing personel itu masing-masing memiliki latar belakang musik yang berbeda. Ada yang pop, blues, jazz, sampai classic. Hingga akhirnya kita ketemu ya di pop. Sebenarnya kita sendiri nggak expect kalau musik kita bakal kaya gini sih awalnya. Kaya mengalir aja gitu”, terang Yuli.

Good Morning Everyone
Suasana wawancara bersama GME (28/1). Foto: Faiq Nurfratama

Lusi sendiri menjadi sebuah proyeksi nyata yang juga termaktub secara eksplisit dari kata yang mereka ambil sebagai tajuknya. “Lusi itu kita ambil dengan artian “nyata”. Kayak kata “irasional” (yang artinya nggak masuk akal) dengan kata “rasional” (masuk akal). Lusi juga kita ambil dari antinonim kata Ilusi. Yang aritnya kita di sini membicarakan hal-hal yang nyata” pungkas Yuli

Berisikan enam trek, beragam kisah yang familiar untuk ditemukan dalam kehidupan seseorang pun mereka tuangkan di sini. Mulai dari pengharapan, perpisahan, penyesalan hingga ketetapan hati. Bicara soal hal-hal terdekat yang mungkin juga mereka rasakan sendiri masih menjadi formula bagaimana mereka menulis musik. Hal ini tak hanya berlaku ketika mereka sudah berwujud band pop seperti saat ini.

“Dari dulu juga kita lebih suka nulis musik tentang hal-hal terdekat. Meskipun orang beda-beda, tapi menurut kita lebih mudah aja untuk menggubahnya menjadi musik. Dan bisa relatable juga sama orang banyak”, lanjut Sani.

Perjalanan mereka sejak awal hingga akhir tentunya tidak melulu disambut dengan respon positif, pertanyaan-pertanyaan semisal “kok musiknya jadi gini?” tentu sering seliweran di telinga mereka. Namun, di sisi lain pun mereka juga dapat meraup lebih banyak telinga. Ya, memang wajar aja. Telinga mana juga yang tak nyaman dengan musik pop karena sifatnya pun cenderung easy-listening? Di titik ini, apa masih relevan untuk bicara soal sell out?

Mengenai hal itu, ada satu nama kaliber yang sering dibahas kemiripannya dengan mereka. Nama tersebut adalah Sheila On 7. Entah mengapa hal tersebut selalu ada di kolom pertanyaan mereka. Meskipun secara musik juga lirik, sebenarnya tak terlalu identik. Konon, akibat suara vokal Sani cukup mengingatkan pada Duta. Mengenai hal itu, mereka pun angkat suara. 

“Itu udah nggak aneh lagi sih buat kita, bahkan dulu saya pernah bikin band dan mainin emo, banyak yang bilang kayak Sheila On 7 versi emo gitu. Apa lagi sekarang ketika (musiknya) udah nge-pop,” terang Sani.

Hal tersebut rasanya memang tak dapat dipungkiri dan cukup wajar jika menimpa GME beberapa katalog musik mereka secara nada dan suara vokal agak mirip dengan Sheila On 7. Tanpa memungkiri Duta dkk. Memang menjadi salah satu rujukan mereka dalam bermusik. Namun tak berhenti di situ masih ada nama-nama lain yang membangun musik mereka hingga sedemikian rupa.

“Nama-nama yang mempertemukan kita sebenarnya nggak cuma Sheila On 7, namun secara general kita lebih merujuk pada musik ‘90-an. Di Indonesia ada Padi, Dewa 19, Jikustik dan lain-lain mungkin jika terdengar seperti Sheila On 7 secara tidak sengaja ya, karena..”, jawab Yuli.

“..karena vokal”, sambut Sani. Gelak tawa kami pun pecah. “Jadi (buat kita) nggak aneh lagi sih”, lanjutnya. 

Good Morning Everyone
Suasana wawancara bersama GME (28/1). Foto: Faiq Nurfratama

Namun, sependengaran saya, jika mesti diidentikan rasanya terlalu berlebihan, mengingat dari musik, pop Indonesia yang merujuk pada arus utama memang cukup terdengar generik, GME pun tak luput dari salah satunya. Poin berikutnya, dari segi lirik saya rasa Duta dkk. mengolahnya lebih cerdas, semisal penggunaan kata agar tak terlalu terdengar “picisan”. Meskipun secara tematik, kedua nama ini masih berkutat dalam hal yang sama; sesuatu yang dekat dan personal bagi mereka. Namun, tanpa memukul rata, hal tersebut kembali lagi pada masing-masing band.

Kami pun menutup topik obrolan dengan pembahasan rencana ke depan mereka. Setelah merilis beberapa web series yang mereka adaptasi dari single-nya. Mereka pun sedang dalam proyek besar yang masih bersinggungan dengan Lusi, yaitu perilisan sebuah film sebagai bentuk visualisasinya serta sekuel dari web series-nya. 

“Rencananya akan roadshow dan screening (di bioskop) di beberapa kota pada Februari ini, selanjutnya kita masih belum tahu. Mungkin juga akan ditayangin di bioskop online gitu” jelas, Sani. 

Untuk penambahan katalog musik, mereka juga berencana untuk merilis album di tahun ini. Meskipun waktunya belu dapat dipastikan. “Namun ya harapan kita sih (albumnya) bisa rampung di akhir tahun ini,” tutup Yuli.

Oh iya, ngomong-ngomong, mereka juga sudah menyematkan daftar putar hasil kurasi mereka yang dapat kamu cek di tautan di bawah ini, friend. Langsung cek dengan mengklik tautan di bawah ini, ya!

Back to top button