Bilangnya Begini Maksudnya Begitu: Menyelami Makna Lirikal Banal Semakin Binal
Di penghujung tahun 2022 ini, lewat berbagai ulasan di media, rata-rata semua hampir sepakat bahwasanya album Banal Semakin Binal milik The Jansen merupakan salah satu artefak terbaik tahun ini. Lantas apa yang membuat itu semakin kentara? Selain dari segi musikal, penulisan lirik yang terkandung dalam album tersebut jadi salah satu faktornya. Tak seperti punk pada umumnya, The Jansen justru menghadirkan lirik ‘cupu’ penuh majas alih-alih berbicara tentang spektrum politik atau sosial masyarakat.
Singkatnya, The Jansen berhasil memberi opsi lain menikmati musik punk yang biasa dikenal kritis dan gahar serta berpenampilan ‘semau gue’. Banal Semakin Binal menjadi anestesi yang memaksa banyak insan dengan latar belakang selera musik berbeda terbius mendengarkan musik suguhan unit asal Bogor ini. Terdiri dari 12 repertoar dengan total 39 menit mengitari kepala, meski musik yang ditampilkan terbilang sederhana khas punk dengan riff-riff yang serupa, bahkan “Dua Bilah Mata Pedang” hanya memuat dua chord saja.
Maka dari itu, rentetan rima menjadi sebuah amunisi solid yang dihadirkan oleh band yang beranggotakan Tata (gitar/vokal), Adji (bass), Karina (gitar), dan Aduy (drum). Sekilas, mendengarkan keseluruhan album ini membuat imajinasi bergerak liar menafsirkan tiap penggal kata yang ada dan berusaha mengorelasikannya dengan judul yang tertera. Untuk memperjelas semuanya, saya mewawancarai Adji selaku penulis lirik dari album ini, dan ya, imajinasi saya seketika dipatahkan setelah mendengar penuturan langsung darinya.
Memang sudah jadi panduan utama jikalau kalian hanya menganggap punk adalah anarkisme yang penuh amarah, atau gerakan politik lain, maka album ini tak lebih dari sajian sekelompok pemuda culun dengan untaian puisi yang diiringi musik punk rock. Bahkan dari segi musik pun sebetulnya masih jauh terdengar lebih soft dibandingkan dengan musik punk lain, hal itu mungkin saja karena pengaruh kuat rilisan-rilisan Sarah Records yang direkomendasikan Adji pada Tata selaku pembuat musik. Di beberapa lagu memang terdengar suasana The Pastels, Talulah Gosh atau Boyracer dengan harmonisasi musik dan lirik yang padu dengan pengaruh punk rock yang cukup kentara.
Banal Semakin Binal jadi gerbang lain eksplorasi lirik Adji, dkk. Pasalnya, jika dibandingkan album sebelumnya, Present Continuous (2017), dan Say Say Say (2019) yang notabene banyak memuat lirik berbahasa inggris, Banal Semakin Binal ini justru sebaliknya, keseluruhan lagunya berbahasa Indonesia dengan nuansa puitis namun tidak berlebihan, dan kabar baiknya, harmonisasi musik dan lirik berhasil dipadukan dengan ciamik oleh para personil hingga lirik yang dilafalkan tidak terkesan norak.
Meskipun masing-masing nomor dalam album ini memuat banyak sekali majas tapi bisa dikatakan kita tidak memerlukan effort lebih untuk menikmatinya, cukup diam mendengarkan dan berusaha memaknai tiap penggal kalimat yang ada. Perlu diakui, dalam beberapa bagian lagu memang terkesan absurd jika harus kita aktualisasikan dalam kehidupan nyata, namun kita tidak diberikan waktu untuk menepi sebentar memikirkan jauh apa yang dilafalkan, melainkan dipaksa untuk terus menganggukkan kepala menikmati semua nomor yang ada dalam album ini.
Selain sebagai karya musik, saya menganggap Banal Semakin Binal ini sebagai salah satu karya sastra yang mana bentuk apresiasinya begitu rancu; memunculkan banyak pertanyaan dan perdebatan tentang penafsiran siapa yang benar? Serta minat dan pandangan hidup yang kan mempengaruhi penafsiran kita terhadap karya sastra tersebut. Keseluruhan nomor dalam album ini rupanya memiliki tema yang berkaitan meskipun tak runut, jelasnya artefak ini berbicara tentang naik-turun kehidupan serta segala dinamika yang bercampur di dalamnya.
Sebelumnya, Adji bercerita tentang kebiasaannya menulis puisi meski sudah terhenti cukup lama, dan di album ini ia memaksa dirinya untuk menulis lagi, yang mana hasil tulisannya itu jadi batu pertama Banal Semakin Binal, sekaligus album pertama The Jansen yang proses pembuatannya dari lirik dulu– biasanya mereka membuat aransemen terlebih dahulu, baru dilengkapi dengan lirik. Hal itu pula yang mungkin menambah kesan puitis dalam album ini, pemilihan frasa yang tepat dan dilengkapi dengan majas yang jelas, membuat departemen lirik menjadi solid. Ada satu hal yang menjawab serta memperjelas kemuraman terkait betapa absurdnya makna dari beberapa nomor dalam album ini, Adji mengatakan ia memiliki karakter penulisan kolase kata atau kolase momen, yang mana ia menggabungkan berbagai tema atau sudut pandang untuk menjadi suatu tema baru.
Maka jangan heran jika dalam beberapa lagu terdengar memiliki beberapa sudut pandang tentang tema yang berbeda. Namun kolase kata atau momen itulah yang membuat album ini mempertegas posisinya sebagai salah satu album penting di tahun 2022. Mengais referensi dari nama-nama seperti Jimi Multhazam, Boyke ‘Irama Ombak Duren’, dan Remy Sylado membuat eksplorasi The Jansen menemukan titik liarnya di album Banal Semakin Binal, yang mana tadinya album ini akan dinamai “Semakin Ugal”.
Mari kita bedah masing-masing lagunya dengan membandingkan hasil penafsiran awam seperti saya dan maksud dibalik lagunya sesuai penuturan sang penulis lirik, Adji. Kelak mungkin kalian akan merasakan hal yang sama dengan saya, bagaimana runtuhnya imajinasi saya menuju momen mind blowing lain tentang album ini, dan mengapa saya mengutip judul buku Bilang Begini Maksudnya Begitu milik Sapardi Djoko Damono yang berisikan apresiasi beliau terhadap karya sastra.
- Dua Bilah Mata Pedang
Mendengarkan bait pertamanya saja saya langsung memiliki anggapan bahwa lagu ini berkisah tentang senyuman seseorang yang dikagumi yang bisa berarti dua hal: baik atau buruk, namun perasaan ambigu itulah yang membuat kita semakin mencintai orang tersebut. Ya, klise memang. Namun rupanya, “Dua Bilah Mata Pedang” berbicara tentang permasalahan hidup yang datang tanpa diminta, Adji menganalogikannya dengan badai yang bisa datang kapan saja, ia bisa datang bahkan di saat air laut sedang tenang atau cuaca sedang cerah, ya, seperti dua bilah mata pedang. Kita tidak bisa benar-benar mengetahui ia berpihak pada sisi yang mana, dan serupa itulah permasalahan hidup yang ada.
Lantas, dari mana asalnya lirik “jatuh cinta kepadamu”? Lagu ini jadi satu-satunya lagu yang Tata kirim musiknya terlebih dahulu, sekilas memang nampak seperti “Ever Fallen in Love” milik Buzzcocks. Tanpa pikir panjang, Adji menambahkan kalimat “jatuh cinta kepadamu” untuk menambah kesan dalam lagunya, tanpa maksud dan tujuan yang jelas.
2. Kau Pemeran Utama di Sebuah Opera
Membayangkan suatu peran penting yang digantungkan pada seseorang yang menjadi aktor dalam adegan yang dibuat dalam pikiran. Ah rupanya itu terlalu berlebihan. Lagu ini berkisah tentang Adji yang menguak kembali memori lama di sebuah halte bis terbengkalai yang dulu sering ia pakai untuk berangkat ke sekolah. Dua bait pembuka yang berbunyi:
Masa-masa naik bis kota dengan wajah yang sama
Terbesit bisikan di kepala keraguan yang kau rasa
Asam garam kurasakan, liar kucing terbengkalai
Halte tua tak beralaskan, melihat tubuhnya terkulai
Kedua bait tersebut menampilkan maksud lagu ini secara general, yang tak lain merupakan cerita Adji saat menemukan wajah-wajah yang sama kala ia berangkat sekolah dari halte bis tersebut, kemudian fast forward ke hari di mana ia menemukan halte itu lagi yang kini sudah terbengkalai seperti kucing liar dan dipenuhi tunawisma yang tidur dan berdiam diri di sana. Kemudian untuk bagian reff:
Birama kehidupanmu sedang kacau
Adakalanya berhenti bersandiwara
Tak sekalipun ku meragukanmu
Berkisah tentang dinamika kehidupan yang dijalani, namun tak pernah sekalipun kita meragukan diri sendiri untuk melewati jalanan terjal yang ada. Lirik tersebut diperkuat oleh “kau pemeran utama di sebuah opera”; merupakan sebuah kalimat penyemangat untuk diri sendiri, bahwa kitalah sebenar-benarnya pemeran utama dalam hidup kita. “Opera” dipilih sebagai metafora dari kehidupan yang kita jalani, dan pemilihan kata “kau” mempercantik sudut pandang yang ada dengan merubahnya sebagai kata ganti “saya”.
3. Sore di Kebun Raya
Ini jelas lagu romansa dua sejoli yang bertamasya di Kebun Raya. Namun Adji menambahkan, impiannya ini belum sempat terlaksana karena ia terlebih dahulu ditinggalkan pasangannya. Kisah tersebut digambarkan lewat lirik:
Bicara tentang masa depan
Hilang sudah raut wajahmu
Mampus dihajar harapanmu
Sedangkan penggunaan frasa “remaja Ibu Kota” sejujurnya hanyalah agar bisa dilafalkan lebih mudah dan enak didengar, dibandingkan jika harus menuliskan “hey kau naif sekali, remaja Kota Bogor!”.
4. Ku Bukan Mesin Lotremu
Hemat saya, lagu ini jadi lagu yang bercerita tentang seseorang yang diperas oleh sebuah hubungan; entah pertemanan atau pacaran yang hanya menghasilkan omong kosong belaka. Namun nyatanya, jika memang masih harus mengasosiasikan punk dengan anarkisme atau segala ideologi kebebasan lain, mungkin lagu ini adalah lagu yang paling ‘punk’ dan ‘anarki’. Berkisah tentang teman Adji yang menjadi karyawan di salah satu perusahaan dan tak dibayar untuk beberapa waktu, bayarannya hanyalah bualan sang atasan tentang gaji sebagai upaya mengulur waktu.
Arah pandang mulai memudar
Berapa lama ku tak tersadar
Ku muak dengan omong kosong
Ku bukan mesin lotremu
Persetan dengan semua omong kosongmu
Seperti segala balada tentang pemenuhan hak buruh di tiap Mei, lagu ini jadi momentum terbukanya sudut pandang mengenai bualan para atasan yang menganggap karyawan sebagai mesin lotre penghasil uang; kalau untung lanjutkan, kalau buntung pecat saja. Jelas, Adji tak mengutip siapapun terkait lirik ini, karena ini masalah semua orang bukan milik satu kaum saja, semua harus menuntut haknya dalam bekerja, karena mereka telah melaksanakan kewajibannya, bukan? Kemudian itu semua disempurnakan dalam bait:
Hari-hari tak terbayarkan
Seperti rumput liar terbiarkan
Alih-alih gurau, oh kawan
Geram ku jadi berantakan
Ia tak lagi bermain abstrak, namun sudah dengan gambaran yang jelas, perasaan tertekan tanpa sempat bercanda memikirkan hari-hari tanpa bayaran, disempurnakan oleh penggunaan metafora dalam “seperti rumput liar terbiarkan”. Bahwa rumput liar, semakin dibiarkan maka semakin merusak, baik secara estetika atau keberadaannya yang mengganggu, itulah perasaan tak dibayar dan hanya mengonsumsi omong kosong atasan. Punk!
5. Langit Tak Seharusnya Biru
Pertama kali membaca judulnya, saya berpikiran bahwa lagu ini jadi antitesa “Langit Seharusnya Biru” milik The Milo. Namun Adji menjelaskan bahwasanya lagu ini berakar dari puisi lama yang pernah ia buat, dan sejujurnya ia baru tahu “Langit Seharusnya Biru” milik The Milo saat rekaman. Lagu ini terbilang cukup sederhana namun membingungkan, bercerita tentang bintang yang ada dalam galaksi kita, bahwa cahaya bintang yang kita lihat sekarang ini berjarak ratusan tahun, serta ia menyambungkannya dengan doa kepada bintang yang ditegaskan lewat penggalan lirik
Ramalan dan mesin waktu
Seratus kata aku percaya, aku percaya
Ya, tiada konotasi yang berbeda jauh dengan lirik yang dituliskan selain khayalan mengenai bintang.
6. Mereguk Anti Depresan Lagi
Lagu ini bercerita tentang sebuah kondisi di mana seseorang mengalami gangguan kecemasan hingga harus mereguk anti depresan untuk meredakannya. Adji menuturkan bahwa lagu ini merupakan lagu yang paling menangkap banyak sudut pandang, semua tergambarkan dari tiap bait yang ada.
April mohon datang kembali
Tak lagi menjadi hal kubenci
Pria kelahiran April itu mengakui bahwa dirinya tak pernah menyukai dirayakan ulang tahunnya, bahkan untuk sekadar diucapkan “selamat”. Namun satu kejadian merubah semuanya, ia tak lagi membenci ucapan di hari ulang tahunnya.
Hitam putih tersaturasi
Mewarnai kanvas di Senin pagi
Bagian ini berasal dari kegiatannya di masa isolasi mandiri. Tak ada kegiatan lain selain membeli kanvas dan berkarya.
Terisolasikan diri
Tekanan semakin jadi
Mereguk anti depresan lagi
Seperti yang engkau bicarakan tempo hari
Kau membuatku selalu terkesan
Seperti brownies yang kau kirimkan
Bagian reff ini berkisah tentang temannya yang bercerita pada dirinya bahwa ia memiliki sebuah kebutuhan khusus yang mana itu merupakan anti depresan untuk meredakan tekanan yang dirasakannya. Pemilihan kata ‘anti depresan’ terdengar ‘nakal’ dan dibandingkan dengan ‘brownies’ yang terdengar manis, ‘brownies’ itu sendiri berasal dari momen manis Adji saat diberikan brownies oleh salah satu PDKT-annya dulu. Absurd memang, memuat lebih dari dua sudut pandang, namun ajaibnya masih bisa dianggap sebagai satu kesatuan tema. Anggap saja begini, bahwa ‘anti depresan’ di sini bukanlah aib yang harus ditutupi, tapi sebagai hal manis yang harus dihadapi.
7. Lalu Lalang Lintas Generasi
Entahlah, saya merasa ditipu dalam memaknai lagu ini. Rupanya lagu ini menceritakan ODGJ di sekitar rumah Adji yang selalu hadir mulai dari zaman orang tuanya 30 tahunan lalu, hingga ia tumbuh dewasa.
Ku teriaki kau untuk bersinggah
Berdiri tegak di teras rumah
Seperti gulma-gulma pohon mangga
Lalu mereka kabur tak tercegah
Based on real story, kala ODGJ diam di pekarangan rumah Adji, di bawah pohon mangga yang keluarganya miliki, seringkali ODGJ tersebut dipanggil oleh sang kakek untuk diberi uang, tapi sang tante dan anak-anaknya yang lain seringkali merasa ketakutan, dan memilih untuk kabur.
Lalu lalang lintas generasi
Kau hidup bebas bagai pelangi
Terkadang hilang kau pun pergi
Tiga puluh tahun tak berubah
Kini datang lewati
Adji menganggap, ODGJ tersebut hidup begitu bebas, bisa seenaknya datang dan pergi seperti pelangi, bahkan tetap ada setelah berganti generasi.
8. Tipu Daya Sejarah
Mungkin jadi lagu yang saya tak terlalu mangkir jauh dari pemaknaannya, perihal sejarah yang kadang kali menipu, terlebih Adji percaya bahwa sejarah dituliskan oleh pemenang. Namun lebih jauhnya, lagu ini merupakan ucapan semangat bagi mereka yang tengah melalui permasalahan yang ada; tersenyumlah.
9. Televisi Masih Menyala
Sayangnya, untuk lagu ini saya tidak bisa terlalu banyak menginterpretasikan lagunya. Di sisi lain, lagu ini pun memiliki arti yang terlampau personal bagi Adji, hingga ia pun tak bersedia menjabarkan semuanya.
10. 7456
Jujur, lagu ini terlalu jelas untuk memiliki makna lain selain pesta. Tapi apakah maksud dari 7456? Ide awal lagu ini berasal dari sebuah kejadian random saat Adji menonton film Stephen Chow yang kebetulan ada adegan dansa, ia pun membandingkannya dengan Jimi Multhazam yang dijuluki sebagai Raja Party (pensi), maka lahirlah lirik:
Hey kau jangan bilang,
Jangan bilang Jimi
Di sini ada party
Sedangkan judul “7456” berasal dari grup WhatApp angkatan kuliah sang Ibu yang berasal dari IKJ angkatan ‘74, ‘75, ‘76. Ini mungkin lebih absurd, karena ia secara tak sengaja terpikirkan mengambil judul ini setelah mengantar sang Ibu reunian bersama grup “7456”-nya itu, yang kebetulan tiap reuniannya tersebut selalu dirayakan dengan pesta.
11. Dunia Terlalu Depresif Untukmu yang Selalu Berekspresif
Banyaknya penggunaan kata “kau” membuat saya selalu terkelabui setelah mendengar maksud aslinya. Lagu ini merupakan sebuah pengingat dan penyemangat yang dibuat Adji kala sedang artblock atau perasaan stuck dan frustasi dalam mengerjakan sesuatu.
Oh segera ambil tindakan
Konsistensi janganlah kau abaikan
Kesenangan yang pernah kau rasakan
Lirik ini merupakan pengingat tatkala frustasi datang, bahwa lakukanlah segala hal dengan senang, dan janganlah lupa perasaan ketika kesenangan itu datang. Adji menganggap bahwa dunia modern itu terlalu depresif, karena percepatan informasi membuat kita menjadi overthinking. Ia membandingkannya dengan pekerjaannya di dunia kreatif yang begitu ekspresif, menjadi semacam kerangkeng lain untuk berekspresi di kala serangan overthinking itu datang.
12. Manuver Cerdikmu
Adji membuat ini sebagai lagu fiktif atau harapannya tentang hari tua yang sibuk, seharian lelah bekerja dan dibayar tuntas dengan kehadiran orang yang disayangi di rumah. Gambarannya terdapat pada lirik:
Lelah sudah malam ini
Cukup sudah kuakhiri
Wajah muramku kau hilangkan
Riang ini kau ciptakan
Ataukah manuver cerdikmu
Membawaku ke dunia semu
Betapa menyenangkannya, pulang ke rumah dengan perasaan lelah berantakan, lalu disambut oleh senyuman orang yang disayangi, merubah wajah yang tadinya muram menjadi riang tak terhindarkan.
13. Planetarium (Bonus Track)
Lagu ini sebetulnya bukan bagian dari Banal Semakin Binal, namun dimasukkan ke dalam CD yang dirilis oleh Demajors, karena kebetulan mereka ditawari untuk memasukkan bonus track ke dalam CD-nya tersebut. Memang jika dibandingkan lagu yang lain, “Planetarium” terdengar berbeda secara musikal, diisi vokal dari solois asal Lombok, Mirakei yang biasa menyanikan jazz, “Planetarium” jadi eksperimen gabungan punk dan jazz. Lagu ini juga terbilang absurd, lirik “masamnya hujan di Jakarta” diambil saat Adji tak sengaja tercegat hujan di Jakarta lalu seketika ia merasakan pusing, ia menganggap itu sebagai hujan asam. Keabsurdan juga ditegaskan dalam lirik:
Jarak terlalu sukar dirumuskan
Jangan biarkan ku meragu
Itu berarti begitu sederhana, sesederhana Adji yang tanpa maksud yang jelas tiba-tiba terpikirkan bagaimana cara menghitung jarak? Namun ia lupa, dan mengkultuskan “jarak terlalu sukar dirumuskan” karena ia lupa rumus menghitung jarak. Sedangkan “tak sejenuh ikan di akuarium” ia dapatkan setelah membayangkan bagaimana jenuhnya kehidupan ikan di dalam akuarium? Juga sebagai rima penyempurna dari “planetarium”.
Lantas apakah “Planetarium” tersebut? Ia mengambil kisah mahasiswa di akhir 70-an yang membuat Planetarium –sebuah tempat di Jakarta– sebagai tempat transaksi (cash on delivery) narkoba pada zamannya. Korelasinya? Tentu tak ada, selain dari sebuah simbol yang menandai perjumpaan seperti yang tergambar dalam lirik “ku ingin bertemu denganmu”.
Absurd, namun brilian.
Kiranya mungkin tak ada satupun lagu yang memuaskan imajinasi saya saat pertama kali menamatkan albumnya, namun jelas tak mengecewakan, justru menimbulkan pertanyaan “mengapa ada orang yang bisa berpikiran seperti ini?”. The Jansen berhasil kita berharap banyak akan imajinasi yang kita buat, di waktu yang sama, mereka menyadarkan kita bahwa berharap pada manusia adalah hal yang tidak benar. Banal Semakin Binal justru menampar kita agar tetap realistis, nothing to lose, dan ya, menjalani saja apa yang perlu dijalani.
Sebagai penulis lirik, Adji menganggap “Dua Bilah Mata Pedang” sebagai lagu paling mind blowing. Ia merasa, takkan ada orang yang menganggap lagu itu sebagai lagu sedih tentang kehidupan. Dan ya, ia telah berhasil memanipulasi banyak pendengar lewa lagu dua chord tersebut.
Mengutip Sapardi yang mengatakan,
Konon puisi adalah mahkota bahasa. Puisi adalah hasil yang dicapai jika seseorang mampu bermain-main dengan bahasanya. Apa yang ditulis penyair tidak serta-merta bisa diartikan secara harfiah. Gerimis bukan berarti hujan, dan bunga belum tentu berarti kembang. Kerap penyair bilang begini, tapi maksudnya begitu.”
Banal Semakin Binal membawa saya pada penyelaman dalam tentang makna lirikal yang terkandung dalam tiap baitnya. Sederhana, semata untuk menjawab rasa penasaran yang selama ini saya pertanyakan. Album ini jadi album penting untuk memaknai tahun 2022, tak heran jika semua sepakat berlomba-lomba menyertakan album ini sebagai album terbaik di rekap akhir tahun mereka.
The Jansen terlalu brilian memotong kejenuhan debat tak berkesudahan skena A dan skena B untuk mendengar album sederhana yang dimilikinya. Rasanya semua bisa bersepakat, Banal Semakin Binal cukup berhasil ‘menenangkan’ skena yang riuh di tahun ini.
Jika mereka masih bersikeras bahwa Langit Tak Seharusnya Biru, setidaknya unit muda asal Bogor ini berhasil ‘membirukan’ langit banyak orang yang dimuramkan seleranya sendiri.