Beranjak Dari Kancah ‘Wibu’, CrossOver Punya Potensi Untuk Melangkah Lebih Jauh

Friend, pernah nggak kamu dateng ke acara ‘jejepangan’ yang diadain sama suatu sekolah atau kampus? Pengalaman saya kalau main ke event kayak gitu sekitaran Bandung, biasanya banyak banget cosplayer atau ‘wibu’ yang lalu lalang sepanjang mata memandang.
Meski banyak yang mukanya kayak tukang siomay nggak cocok sama dandanan cosplay-nya, ya patut diapresiasi keberanian berekspresinya ya. Lengkap dengan dekorasi dan booth–booth yang dimodifikasi biar serasa kayak beneran lagi di Jepang. Terus biasanya sih, suka ada juga band-band pengisi yang mainin lagu-lagu top 40 Jepang atau soundtrack anime yang itu-itu aja. L’arc En Ciel lagi, soundtrack One Punch Man lagi, “Sobakasu” lagi. Itu-itu aja terus di hampir semua acara ‘jejepangan’.
Tapi sepertinya anggapan saya tentang band pengisi acara ‘jejepangan’ yang membosankan itu mulai sedikit agak terbantahkan ketika saya menerima sebuah submission dari CrossOver.

Band techno-metalcore asal Jawa Tengah ini kebanyakan dokumentasi video manggungnya diambil pas mereka main di acara ‘jejepangan.’ Awalnya saya nggak percaya. Kok ada sih band metalcore yang bisa main di ranah wibu? Setelah melakukan penelusuran lebih jauh, ternyata benar adanya kalau mereka itu memang beranjak dari kancah tersebut.
Oke, sebelum membahas aksi mereka di kancah wibu, saya ingin bahas dulu musiknya. Dari musik yang mereka mainkan, sudah sangat jelas kalau mereka mengadaptasi sound dari band-band gelombang technocore/crabcore yang sempat nge-trend di pertengahan tahun 2000an. Semua elemen technocore diadaptasi secara ciamik oleh CrossOver. Buktinya lagu single mereka, “Run Away,” sudah layak untuk disebut sebagai lagu technocore yang sahih. Dari awal sampai selesai, lagu tersebut mengimplementasi kaidah-kaidah technocore secara presisi dan tepat. Jadi kalau urusan musik, hands down deh. Udah keren buat saya mah.

Yang menarik bagi saya adalah pergerakan mereka di kancah jejepangan selama ini. Seperti yang saya sudah bahas di paragraf pembuka tulisan ini, rata-rata band yang mengisi acara jejepangan yang sudah pernah saya sambangi itu selalu memainkan lagu yang itu-itu saja. Lalu kenapa CrossOver bisa berhasil memenangkan hati para wibu dengan musik technocore-nya? Saya rasa kuncinya ada di jejaring pergaulan mereka dan preferensi musik mereka yang sesuai dengan orang-orang di kancah tersebut.
Lewat cover letter CrossOver untuk submission ini, mereka menyatakan bahwa awalnya mereka adalah sebuah band tribute dari band technocore Jepang yang nge-hits karena lagunya sering dipakai sebagai soundtrack anime, yaitu Fear, and Loathing in Las Vegas. Mungkin inilah pelatuk yang membuat CrossOver bisa diterima di kancah ‘wibu’ dengan musik yang ‘aneh’. Selain beranjak dari band tribute dari band metal favorit para ‘wibu’, saya rasa solidaritas para ‘wibu’ di kancah ‘jejepangan’ turut memberikan andil untuk pergerakan CrossOver. Sehingga, mereka bisa terus aktif bermain di segmen yang -katanya- eksklusif itu. Buat yang belum tahu, orang-orang golongan ‘wibu’ terkenal dengan solidaritasnya terhadap sesama ‘wibu’, apalagi yang punya ketertarikan terhadap konten ‘wibu’ yang sama. Contohnya nih ya, lihat aja deh ‘wota’ JKT48. Dedikasinya untuk membela dan mendukung girlband idol group lokal besutan Jepang itu total banget. Mungkin solidaritas antar ‘wibu’ seperti itulah yang menjadi motor CrossOver untuk tetap bisa melaju dan menjadi sebuah support system yang mumpuni bagi mereka.
Dengan musik dan pendukung yang sangat potensial kayak gitu, saya rasa cukup disayangkan kalau langkah CrossOver hanya berpijak di panggung acara ‘jejepangan’ saja. Mereka punya potensi yang besar untuk bisa bermain di gig yang lebih nge-roots atau acara musik yang skalanya lebih besar. Mereka pun layak untuk mendapatkan pendengar yang lebih bervariasi dibandingkan para ‘wibu’ di acara ‘jejepangan’. Eits, bukan maksud mendiskreditkan para ‘wibu’ ya, tapi ‘kan bagus kalau pendengar musiknya CrossOver bisa datang dari berbagai kalangan yang berbeda.