23 Years And Still Raging: Bercengkrama Dengan Veteran Punk, No Label

Hari Jumat 11 Desember 2020 kemarin, ada kunjungan nggak terduga ke kantor Rich Music. Saya lumayan kaget pas dapet info dari teman saya yang kebetulan juga seorang drummer idola generasi millenial awal, Ami Nudist Island, kalau bakal ada sidak mendadak dari sebuah band asal ibu kota. Mungkin kamu anggap penggunaan kata “kaget” yang saya sebutkan tadi itu cukup lebay, tapi aslinya euy, friend. Band veteran punk rock sekelas mereka kok mau ya berkunjung ke kantor sempit yang dipenuhi asap rokok kepulan para juru tulis dan juru visual ini? Usut punya usut, mereka mau silaturahmi sambil promosi tipis-tipis soal album baru mereka yang berjudul “Manusia Merdeka”. Band yang saya maksud adalah NO LABEL, sebuah unit punk rock veteran asal Jakarta yang sudah hampir 23 tahun eksis di kancah punk rock Nusantara.
Singkat kata, mereka pun akhirnya sampai ke kantor dan ternyata personil band-nya yang berkunjung hanya ada dua orang, yaitu Apenx (vokal & gitar) dan Yusek (bass). Umar (gitar) dan Anton (drum) kebetulan absen hari itu. Setelah bersalaman dan bertukar sapa, saya pun mempersilahkan mereka duduk dan menawarkan minum alakadarnya yang tersedia di kantor. “Jangan yang manis-manis ya, kemaren baru nge-drop nih”, celoteh Apenx. Celotehan tersebut ditanggapi oleh Ami yang kebetulan memang sengaja dateng buat nongkrong bareng mereka di kantor Rich. “Umur segini mah enaknya minum herbal. Biar badan lebih seger.” tambah Yusek. Mereka bertukar celetukan dan sesekali bercanda soal faktor umur yang lumayan menggerus performa badan mereka sehari-hari. Mendengar berbagai celetukan itu, saya pun baru ngeuh lagi kalau Apenx – dan sebetulnya seluruh personil No Label- ini bisa dibilang sudah berumur. Keren juga kalau dipikir-pikir sih. Di umur segini, mereka masih semangat main musik dan melakukan “media tour” kayak gini buat rilisan terbaru mereka. Fix, keren banget.

Ketika celetukan heureuy sudah mereda, saya pun membuka obrolan sambil menunjuk kaos yang Yusek kenakan. Kebetulan hari itu dia mengenakan kaos berdesain logo type sebuah festival musik punk rock di Jakarta yang sempat mencuri perhatian beberapa waktu lalu, Good Old Day Fest. Saya menanyakan apakah betul No Label adalah salah satu inisiator dari festival tersebut dan apa output yang diharapkan dari event itu. Yusek menjawab dengan santai “Yoi, kita bikin tuh acara buat ngumpulin anak-anak (para musisi di sirkel mereka –red) doang awalnya. Awalnya buat seneng-seneng eh ternyata pecah acaranya”. Apenx pun menambahkan, “Ya kalau disebut inisiator, nggak tahu ya, soalnya idenya emang spontan dan kebetulan ada salah satu temen yang kerja di Pekan Raya Jakarta. Ditodong langsung gitu buat bikin acara. Ya kenapa nggak gitu ya? Hahaha!” Cukup menarik kalau ternyata inisiasi awal acara tersebut emang dibikin buat ajang reuni doang. Saya pun menanyakan apakah ada potensi buat band-band muda bisa main di Good Old Day Fest. Yusek menjawab, “Ya nggak nutup kemungkinan kok. Kalau nggak pandemi, kita emang rencananya mau narikin band-band baru biar yang mainnya nggak itu-itu lagi. Nggak kita-kita lagi. Entar dikiranya kita homeband PRJ lagi.”
For your information, No Label sempet berkontribusi di dalam kompilasi punk rock seminal rilisan My Own Deck yang berjudul Bad Tunes And Some Ordinary Things di tahun 2001 silam. “Seru aja sih bisa masuk kompilasi itu, secara gitu dulu pas pertama kali dengerin Sendal Jepit itu kayak ngerasa ‘ini baru musik yang gue suka!’” kelakar Apenx. Saya pun iseng melempar sebuah pertanyaan yang ‘touchy topic’, yaitu tentang pendapat mereka perihal istilah pop punk. Dengan raut muka cukup serius, Apenx menjawab, “Pop punk tuh istilah apaan sih? Punk rock ya punk rock aja”. Dia pun menambahkan, “pop punk tuh populer punk ‘kan? Nah masalahnya band-band yang ngeklaim pake genre pop punk itu populer nggak? Ya kalau nggak, ngapain juga pake istilah pop pun.” Opini itu cukup membuat saya reflek manggut-manggut karena opini yang dia lontarkan cukup masuk akal meski saya pun punya opini tersendiri tentang pop punk. Tapi apa yang dia ucapkan itu menunjukkan kalau Apenx dan No Label memang masih punya attitude dan positioning yang sangat punk rock meski umur mereka sudah tidak belia lagi. Gokil.

Album baru mereka yang berjudul Manusia Merdeka berisi 11 lagu yang nuansanya cukup berbeda dengan materi di album-album mereka yang sebelumnya. Di awal kemunculannya, banyak yang mengidentikkan No Label dengan band-band Europunk macam Not Available dan G Point Generation. Tapi di album terbarunya ini, mereka memilih untuk bermain ngebut dan menorehkan lirik yang lebih politikal. Langkah yang mereka ambil malah mengingatkan saya ke Rejected Kids, unit punk rock asal Tangerang Selatan. Mereka merilis album Home beberapa tahun lalu dan lumayan merubah nuansa musik punk rock ala Rufio yang bikin mereka terkenal jadi lebih agresif dan nyerempet hardcore. Apakah ini fenomena umum untuk band-band punk rock yang sudah menginjak umur paruh baya? Tapi toh bukan fenomena yang buruk bagi saya. Malahan keren sih, bukannya melempem tapi jadinya tambah agresif.
Waktu tak terasa sampai akhirnya malam pun menjelang. Sebelum No Label melanjutkan perjalanan media promo mereka ke sebuah kanal radio online, saya pun menanyakan pengalaman mereka ketika bermain dan nongkrong bersama salah satu idola mereka, Not Available. “Itu gila sih!”, sahut Apenx. “Dulu gue udah pernah nulis surat ke dia dan pas mereka manggung ke Jakarta, gue dipeluk sama Dragan (vokalis Not Available) karena dia masih inget gue yang pernah ngirimin surat ke dia”. Beda cerita dengan Yusek yang memang menemani unit punk rock asal Eropa itu jalan-jalan sehari setelah mereka manggung di Jakarta. “Seneng sih seneng. Tapi gue hampir bayar 1.5 juta pas mereka makan nasi Padang dah. Mereka kira kalau makan di restoran Padang yang semua menunya dipajang itu harus dihabisin semua. Dasar bule gila”, kenang Yusek. Saya pun mengungkit kenangan mereka ketika didaulat untuk membuka band punk rock legendaris, No Use For A Name, di Depok beberapa tahun silam. “Terhormat sih bisa maen bareng sama mereka”, ucap Apenx. “Yaaa, meski jarang rilis album, senggaknya kita dikasih banyak kesempatan buat bisa tetep manggung dan ya kayak gitu, dipercaya buat ngebuka band-band punk rock keren yang main ke Indonesia,” ia tambahkan.

Dari obrolan seru bersama No Label di hari itu, saya jadi yakin kalau umur hanyalah sebatas angka dan penghalang secara fisik saja. Semangat dan keinginan mereka untuk tetap bermusik patut diapresiasi dan layak terus didukung. Keren. Oh iya, jangan lupa juga buat beli album mereka yang terbaru, Manusia Merdeka dan rasakan sensasi punk rock seutuhnya, friend.